Kalimat itu sempat saya tulis besar-besar di sebuah buku ukuran setengah halaman A4 dengan kover berwarna biru. Buku yang selalu menemani kegiatan sehari-hari saya. Tempat menumpahkan segala hal tentang diri saya. Tempat “curhat” teraman bagi diri saya.
Why? Saya benar-benar merasa capek dan lelah dalam berdakwah. Saya merasa gagal. Segala usaha yang selalu saya rancang dengan penuh pertimbangan selalu tidak membuahkan hasil. Segala rencana yang berujung indah ternyata hanya berujung kegagalan. Hingga saya merasa bersalah, kecewa, dan gagal.
“ Gimana nih Bang, anak kelas X nya nggak ada yang mau ikut dauroh?”
“ Bang kok acara yang udah kita konsep bareng peminatnya sedikit ya?”
“ Yass, Ibu dapat teguran dari guru-guru yang lain kalau pengajar Bina Rohis guru-gurunya sering nggak datang,”
“ Afwan Akh, antum sudah gagal total,”
Ya Allah!
Belum lagi permasalahan saya dengan dakwah selesai, datang lagi tuntutan dari orang tua kepada saya. Saya mendapatkan teguran karena dianggap terlalu mementingkan orang lain sehingga tidak mengurus diri sendiri. Tuntutan ekonomi dari orang tua pun juga mendera saya.
“ Jangan terlalu banyak kegiatan mending kamu cari kerja,”
“ Bantu Ibu bayar telepon dong,”
“ Seharusnya kamu di usia seperti ini sudah kerja, lihat tuh teman kamu itu.”
“ Cepat kerja, setelah itu pergi dari rumah ini segera, jangan seperti benalu pada orang tua,”
Ya Allah! Ya Karim!
Masalah seolah tak mau lepas dari diri saya untuk saat ini. Saat saya berharap “lingkaran kecil” yang sudah saya ikuti sejak zaman putih abu-abu dapat memberikan sedikit pencerahan pada diri saya, malah membuat hati saya semakin gundah…
“ Afwan akhi, acaranya ditunda nggak sekarang,”
“ Afwan akhi, MR kita lagi ke luar kota jadi pekan ini nggak ada acara,”
“ Kayaknya minggu ini nggak acara lagi deh akh,”
Hati saya pun semakin terasa parah bak terkena sembilu. Kalaupun acara pekanan ada hanya dihadiri segelintir orang saja, itu juga dengan waktu yang sudah tidak sesuai janji. Dan berkali-kali acara pekanan dibatalkan atau sekadar bincang-bincang saja karena kuota personilnya yang tak lengkap.
Ya Rahman! La Hawla Wala Quwwta Ila Billah…
Berikan hamba ketabahan Ya Allah…
Lalu munculah ide itu. Just wanna be an ordinary people. Saya ingin menjadi seperti orang kebanyakan. Menjalani hidup sehari-hari tanpa perlu memikirkan dakwah. Tanpa pernah merasa bersalah bila dakwah tak berhasil ditegakkan. Setelah itu fokus mencari pekerjaan dan konsentrasi penuh dengan pekerjaan yang sudah didapatkan. Terakhir berhenti total dari “lingkaran kecil” dan menjadi anggota majelis taklim saja.
Saya hanya ingin menjadi orang yang biasa saja. Seperti teman-teman biasa saya yang lain. Selesai sekolah lalu kuliah, bekerja dan menikah. Juga teman Rohis saya kebanyakan, cukup dakwah saat di Rohis atau LDK saja setelah itu konsentrasi penuh dengan dunia kerja dan mengumpulkan materi untuk masa depan. Melihat mereka yang terasa tanpa beban menjalani hari-hari mereka. Tak akan merasa bersalah bila tak ada kader dakwah yang lain lagi. Tak merasa terbebani bila acara Muharam tak berjalan dengan sukses. Tak merasa bersalah bila tak datang mengajar kajian Islam di alamamaternya dulu. Ya Allah berdosakah saya dengan timbulnya pikiran seperti itu?
Tak lama saya pun segera menemui-Nya untuk berkonsultasi juga berkeluh kesah. Saat rembulan bersinar Purnama dan suasanan hening, sejuk, dan langit ditaburi berjuta bintang. Berbekal sebuah sajadah saya pun segera menunaikan shalat sunnah dua rakaat dalam kesendirian. Memori-memori yang melatasi kegundahan saya pun terputar ulang…
Untuk dakwah di almamater SMA saya yang terasa gagal. Usaha saya untuk menhgubungi adik-adik ikhwan di kelas satu untuk ikut kegiatan mentoring ternyata nihil belaka. Berkali-kali saya teleponi mereka, dan berkali-kali nihil. Juga saat mengkonsep acara kajian semenarik mungkin dengan target peserta yang ikut seratus ternyata hanya diikuti seperduapuluhnya saja. Tak terhitung lagi berapa banyak pulsa, tenaga, dan waktu yang saya keluarkan yang terasa dalam kesiaan belaka dan berujung pada keluhan saja. Seperti apakah perasaan Nabi Nuh saat bertahun-tahun berdakwah hanya diikuti empat puluh orang saja?
Juga untuk umur saya yang semakin meningkat tetapi belum juga mendapatkan pekerjaan. Saat tuntutan ekonomi didera oleh orang tua. Saat melihat teman-teman yang lain sudah mendapatkan gelar kesarjanaan sedangkan saya harus memulai perkuliahan dari awal lagi karena sempat drop-out. Saat teman-teman dengan mudah membeli benda-benda yang mereka inginkan, sedangkan saya harus mengumpulkan uang mati-matian untuk membayar kuliah. Saat teman-teman sudah mulai saling membanggakan dirinya dengan karier yang telah mereka dapatkan sedangkan saya selalu malu bila ditanya kegiatan yang dilakukan saat ini. Saat kakak-kakak saya memberikan tenggang waktu untuk keluar dari rumah. Saat yang lain memandang jelas masa depannya sedangkan saya terasa buram memandang hal yang bernama masa depan.
Terakhir untuk tarbiyah saya yang belum benar. Saat teman-teman yang lain berlomba-lomba menggapai tingkatan marhalah dalam tarbiyah, saya seperti berjalan di tempat. Saat teman satu lingkaran sudah sukses dengan karier mereka masing-masing, hanya saya yang tertinggal sendirian. Tinggal saya yang mengasihani diri saya sendiri.
Ya Allah…kenapa kau buat segalanya jadi begini? Bukankah Engkau Maha Berkehendak? Kenapa hamba selalu merasa kekurangan rezeki? Bukankah Engkau Maha Pemberi Rezeki? Mengapa tidak segera kau bukakan pintu-pintu hati adik-adik kelasku? Bukankah Engkau Yang Maha Membolak-balikkan Hati? Kenapa lamaran kerja hamba selalu berujung pada penolakan? Bukankah Engkau akan selalu menolong hamba-Nya yang membutuhkan? Kenapa kau bedakan hamba dengan teman hamba yang lain? Kenapa Ya Allah…? Kenapa dakwah terasa berat? Kenapa hidup terasa sempit?
Saya pun hanya bisa menagis sejadi-jadinya layaknya seorang anak kecil. Bertanya terus kepada Allah atas segala hal yang terjadi pada saya saat ini. Atas gundah yang melekat di hati saya.
Pertanyaan saya pun menguap begitu saja tanpa terjawab. Saya segera bangkit kembali untuk mengakhiri qiyam saya dengan tiga rakaat witir.
Ya Allah Maafkan hamba-Mu yang Maha Dhoif ini, yang hanya bisa berkeluh kesah, yang hanya bisa menyalahkan diri-Mu. Maafkan hamba-Mu yang tak pernah sabar, yang selalu terburu-buru, dan yang selalu menginginkan sesuatu dengan cepat. Maafkanlah Ya Allah…atas segala kelancangan diri hamba…
Terasa sekali ada perbedaan setelah kewajiban sunnah yang utama setelah sholat fardhu itu saya laksanakan. Gundah saya perlahan terasa mengikis. Rasa cemas dan pesimis seolah mulai menghilang. Lumbung resah saya pun mulai berkurang dengan pasti. Di pembaringan saya merenung sejenak.
“ Bang, saya pilih ekskul Rohis saja deh, abis lebih menentramkan jiwa.”
“ Sejak ikut mentoring, alhamdulillah saya sudah mulai bisa mengontrol kelakuan buruk saya Bang,”
“ Rohis memberikan kedamaian kepada saya Bang,”
Suara-suara adik-adik kelas saya terngiang kembali. Saya pun teringat kepada mereka yang beralih ekskur ke Rohis. Yang meninggalkan kehidupan gelap mereka dan mencoba menemukan sedikit cahaya di Rohis.
Suara-suara teman-teman saya juga terngiang dengan jelas.
“ Aduh akh, semenjak kerja saya sudah nggak bisa dakwah lagi nih, terasa ada yang kurang,”
“ Akh, ana ingin dakwah lagi. Ana merasa hidup ana stagnan.”
“ Akh, ana bosan dengan rutinitas kantor, ana ingin kembali ke dakwah seperti dulu lagi.”
Mereka yang merasa kehilangan “jiwa” mereka di dalam dakwah. Mereka yang ingin kembali berdakwah kembali.
Juga komentar beberapa tetangga sebelah rumah.
“ Ibu mah beruntung banget ya punya anak yang nggak macam-macam. Nggak terjebak narkoba seperti anak saya,”
“ Untung banget ya Bu punya anak yang nggak ngelawan sama orang tuanya, nggak kayak anak saya yang sering banget ngelawan orang tua,”
Alhamdulillah…! Sgala puji hanya milikmu Ya Allah.
Saya lalu seolah menemukan kekuatan baru lagi. Secercah harapan menghampiri relung jiwa saya lagi.
Harapan untuk tetap berdakwah di SMA saya dulu.
Saya akan terus menghubungi terus adik-adik kelas saya untuk ikut mentoring. Seperduapuluh anak yang mulai komitmen akan mulai saya bina. Mungkin mereka adalah yang telah dipilih oleh Allah. Saya pun tak akan jera untuk mengkonsep acara-acara kajian semenarik mungkin walaupun hasilnya akan tetap sama. Saya yakin Allah akan bersama saya dan membantu saya. Saya harus terus optimis.
Saya juga akan mencoba setiap kesempatan kerja yang datang pada saya. Berapa lamaran pun akan terus saya buat dan kirim. Saya akan menunggu masa itu. Masa Allah menentukan waktunya untuk saya. Saya harus yakin bahwa Allah tak akan menyusahkan saya diluar kemampuan diri saya. Dan janji Allah untuk manusia yang berjalan di jalan-Nya pasti akan dipenuhi. Karena hanya Dialah yang Maha Menepati Janji.
Juga di “lingkaran kecil” saya akan berbuat yang terbaik. Mencoba memberikan tausiyah kepada mereka yang sudah mulai “menyimpang” dan saling tauladan mentauladani. Mencerahkan kembali “lingkaran” itu seperti sedia kala.
Hati saya pun berbunga-bunga kembali. Optimis menyemai kembali. Semangat tersedia lagi berjuta-juta ton. Segera saya mengambil diary biru saya. Membuka halaman terakhir yang saya tulis. Menyilangkan kalimat I just wanna be an ordinary people dan disampingnya menulis… I JUST WANNA BE A DIFFERENT PEOPLE!!
Saksikan Ya Allah…atas tekad hamba-Mu ini…***(YAS)
“ Tak ada yang lebih baik di mata Allah selain para da’i yang bertaqwa dan ikhlas hanya karena-Nya,”
No comments:
Post a Comment