Siang menjelang sore itu di sebuah Masjid di almamater SMA saya pada saat saya sedang menikmati makan siang dalam kesendirian, hadirlah sosok itu yang sudah lama tidak saya jumpai. Danu Kusuma Praja, nama pemuda berperawakan sedang itu hadir di depan saya saat dia hendak melaksanakan sholat dzuhur. Dia adik angkatanku lulusan tahun 2008. Aku masih ingat sekali akan dirinya. Matanya yang berkantung dan membuat matanya terlihat sipit, wajahnya yang terlihat baby face dan orangnya yang tidak banyak bicara serta sopan. Dia menyapaku terlebih dahulu, lalu segera segera menunaikan sholat. Danu adalah salah satu pemuda gaul yang masih ingat akan sholat lima waktu. Aku ingat sekali waktu aku mengajar di kelasnya, saat semua murid kutanyakan tentang masalah sholat lima waktu yang dilakukan mereka sehari menjelang pelajaranku, Danu termasuk dari sedikit anak yang mengerjakan sholat 5 waktu. Mungkin pertemuanku dengan dia tidak akan mengesankan apa-apa jika bukan kuingat bahwa dia adalah mantan mentee ku saat Studi Wisata Ramadhan yang diadakan Rohis SMA-ku dua tahun yang lalu. Tapi melihat sosoknya, di sudut hatiku lahir sebuah rasa penyesalan yang semestinya tidak perlu kulahirkan. Pikiranku terbersit andaikan dulu dia bisa terus kupertahankan sebagai salah satu menteeku bukan tidak mungkin kalau sekarang dia mungkin adalah salah seorang bagian dari barisan Ikhwan. Apalagi jika kuingat, saat ini aku juga sedang bermasalah dengan mentee-menteeku angkatan Danu yang sudah hampir beberapa bulan ini tidak pernah hadir dalam majelis mentoring. Dan mengembaralah aku pada suatu kisah tentang amanah.
Setiap tahun almamater Rohis SMA-ku selalu mengadakan acara pesantren kilat yang dinamakan Studi Wisata Ramadhan (SWARA). Hingga sekarang aku menulis catatan ini, SWARA telah diselenggarakan sebanyak 18 kali. Dari mulai acara yang khusus buat anak-anak Rohis saja sampai acara ini menjadi diwajibkan oleh pihak sekolah. Tujuan diadakan acara ini pada mulanya adalah sebagai sarana pengkaderan untuk pengurus Rohis selanjutnya sekaligus membentukan kader-kader Rohis melalui mentoring. Semenjak acara ini diwajibkan maka pada saat acara berlangsung terciptalah minimal 10 kelompok mentoring ikhwan dan 10 kelompok mentoring akhwat. Dari kelompok-kelompok mentoring inilah yang nantinya diharapkan bisa terus berjalan. Setiap alumni yang masuk kriteria sebagai mentor maka diberikan amanah sebagai pemegang kelompok-kelompok tersebut. Seusai acara SWARA selesai, maka kepada para alumni itu diharapkan mengadakan acara follow-up semisal buka puasa bersama dan lain-lain dengan harapan kelompok mentoring itu bisa terus berjalan.
Inilah yang akhirnya selalu kuributkan hampir setiap tahun. Tentang amanah memegang mentoring. Pada forum rapat alumni ataupun rapat mentor dan bahkan pada acara Dauroh Murobbi, aku tak pernah bosan-bosannya mengingatkan pesan ini. Aku minta jangan sampai acara SWARA hanya sekedar rutinitas belaka saja. Rasanya uang yang dikeluarkan untuk acara ini yang berkisar sampai 30 juta rupiah akan terasa kurang manfaatnya jika kelompok mentoring yang terus bertahan hanya sedikit saja. Mereka pun memahami, karena pada dasarnya kita semua di wadah alumni memang berpikiran seperti itu.
Tapi kenyataan tidaklah seindah harapan. Pada saat penyelenggaraan acara sudah banyak mentor yang sepertinya kehabisan bahan bakar untuk mentoring. Pada saat evaluasi mentor, mereka yang mendapatkan mentee yang cenderung baik akan bersemangat menceritakannya sedangkan mereka yang mendapatkan mentee yang dicap sebagai kelompok "perlu perhatian lebih" melaporkan hasil mentoring mereka dengan biasa-biasa saja. Sehingga tidak menjadi aneh, saat saya tanyakan kepada mentee-mentee mereka nama mentor mereka kebanyakan mereka menyebutkan dengan nama yang salah atau bahkan ada yang tidak tahu nama mentor mereka sendiri. Tak jarang pula kutemukan kelompok-kelompok mentoring membaca Al-Qur'an ataupun sahur hanya ditemani asisten mentornya saja atau bahkan tidak ada yang menemani mereka. Saat kutanyakan kepada alumni yang lain kepada para mentor yang seharusnya bertugas itu, jawabannya adalah mereka sedang tertidur. Atau bahkan acara materi di ruang aula menjadi rusuh saat para peserta hanya dijaga oleh panitia acara yang berjumlah seper lima puluh dari seluruh peserta. Padahal di perjanjian dalam acara Dauroh Murobbi, setiap mentor harus menemani peserta saat acara materi berlangsung. Dan yang kudapati, para mentor justru sedang asyik bercengkrama di dalam kamar khusus mentor. Aku memang bukan orang yang bisa berbicara langsung kepada mereka tentang hal yang menurutku salah itu. Tapi pada saat acara evaluasi kuutarakan pendapatku itu.
Seusai SWARA, aku sebagai kordinator mentor meminta kepada para mentor untuk mengadakan follow-up. Tetapi hingga menjelang lebaran tak lebih dari tiga mentor saja yang menjalankan tugas itu. Yang lainnya saat kutanya alasan mereka tidak bisa follow-up, kebanyakan mengatakan bahwa mereka tidak ada waktu, tidak ada kontak person mentee mereka, sulit diajak untuk berkumpul dan lain sebagainya. Alasan yang menurutku adalah alasan yang klasik. Bahkan saat kutanyakan apakah mereka walaupun tidak bertemu tetap menjalin kontak dengan mereka, kebanyakan dari mereka menjawab dengan tidak. Apakah susahnya menulis kalimat sapaan di sebuah pesan singkat telepon genggam? Apakah membutuhkan waktu yang begitu lama? Dan akhirnya dari 20 kelompok mentoring ikhwan dan akhwan, yang jalan hanya 2 saja. Itu pun jalan dengan tersendat-sendat atau di akhwat sering gonta-ganti mentor. Dan yang sangat kusesalkan sekali, hal ini hampir terjadi setiap tahunnya. Ingin kubertanya pada mereka semua, kenapa antum tidak amanah dengan kelompok mentor antum? Bukankah dengan begitu antum telah menghalangi seseorang yang mungkin bisa mendapatkan hidayah dari acara mentoring ini? Bagaimana jika dulu, antum juga mendapatkan mentor yang seperti diri antum sekarang? Bukankah antum tidak bisa menjadi ikhwah pergerakan sekarang?
Tapi yang membuatku tak habis pikir, mereka berdalih karena amanah mereka yang banyak ditempat lain. Aktivis kampus, aktivis masjid, aktivis BEM, dan lainnya. Salah seorang ketua alumuni pernah berkata saat kutanyaakan kenapa mereka yang sudah punya banyak amanah harus diberikan amanah lagi? Dia hanya menjawab bahwa orang yang banyak amanah untuk bisa menjalankan amanah itu maka harus diberi tambahan amanah. Jawabannya membuatku semakin bingung.
Teringatlah aku akan dulu saat aku mendapat amanah menjadi seorang mentor. Aku masih ingat, bahwa aku bukanlah orang yang masuk kriteria sebagai mentor menurut kacamata mantan ketua alumniku. Dia cenderung melihat seseorang dari sisi luarnya saja. Yang "kelihatan ikhwan" banget itulah yang dia pilih. Karena aku adalah ikhwan yang agak-agak "melenceng" sedikit maka aku bukanlah pilihannya. Aku adalah orang yang cenderung modern. Aku yang selalu mengusulkan agar acara-acara di Rohis tidaklah yang kolot tetapi harus yang bisa dinikmati orang banyak. Tetapi pada saat tidak ada pilihan lagi, ketua itu memberikanku amanah sebagai mentor dengan rasa terpaksa dan kelompok yang diberikan adalah kelompok "butuh perhatian lebih".
Aku menikmati setiap detik saat aku menjadi mentor. Aku begitu ingin sangat perhatian terhadap mentee-menteeku. Saat mereka membutuhkan sesuatu, kalau kubisa pasti aku akan memenuhinya. Aku rela merogoh kocek lebih dalam untuk membelikan air minum satu karton untuk para menteeku agar mereka tidak perlu antri mengambil air minum di gallon. Aku mencarikan mereka air panas saat mereka ingin memakan mie seduh. Aku menemani mereka mencari sandal yang ketukar dengan peserta lain. Aku menikmati peran itu. Hingga mereka pun tak segan untuk bercerita tentang diri mereka kepadaku. Aku juga sering menulis pesan-pesan singkat di buku catatan materi mereka. Kubuat kata-kata yang lebih akrab agar mereka percaya padaku. Sesaat sebelum pulang dari acara SWARA ini, kami berjanjian untuk buka puasa bersama sekaligus meneruskan mentoring ini. Dan setelah semua usaha yang kulakukan ini, akhirnya mentoring ii tetap bisa kupertahankan berjalan rutin seminggu sekali. Bahkan beberapa anak yang mentornya tidak jalan segera kuajak bergabung dengan kelompokku ini. Hingga akhirnya kelompokkulah satu-satunya yang berjalan di bagian ikhwan.
Rasa gembira segera memancar dari diiriku saat kulihat bahwa mentor-mentorku bukanlah murni anak Rohis. Mereka ada yang dari ekskur bola, basket, PMR, dan kesenian. Dan dengan kesadaran mereka sendiri, maka mereka memutuskan untuk berpindah ekskur ke ekskur Rohis. Dan Rohis pun menemukan kembali calon-calon generasi berikutnya. Memang dalam perjalanan tarbiyah mereka ada beberapa anak yang akhirnya harus mengundurkan diri dari lingkaran kecil ini. Tapi banyak juga yang akhirnya dengan penuh kesabaran bisa mengubah jalan hidup mereka 180 derajat. Dari mereka yang tidak terbiasa sholat lima waktu sampai mereka akhirnya melaksanakan sholat lima waktu dengan sholat-sholat sunnah sebagai tambahan. Hal-hal yang terjadi pada mentee-menteeku hanya bisa kupanjatkan syukur kepada Allah SWT. Dan hal ini terus berjalan hingga beberapa tahun kedepan. Aku selalu dijadikan mentor bagi anak-anak yang "butuh perhatian lebih" dan selalu kubuktikan bahwa tidak peduli siapapun mereka aku selalu mencoba membuat tertarik dengan Rohis dan dengan Islam. Dan sebaliknya teman-teman yang diamanahkan memegang kelompok unggulan selalu berakhir dengan bubarnya kelompok itu dan mereka yang diunggulkan berubah dan sama sekali menghilang dari Rohis. Aku tetap tidak mau berbangga diri. Dan rasanya memang tak pantas aku berbanga diri. Siapakah aku hingga patut berbangga diri. Yang kurasakan semua ini hanyalah memang jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah. Yang menghantarkan hidayah adalah Allah an mungkin aku hanyalah perantaranya saja. Aku hanya bisa berbagi pengalaman dan tips kepada teman-temanku yang lain.
Lalu sebuah teguran keras datang kepadaku melalui Pembina Rohis baru yang memang aku kurang begitu cocok dengan karakternya. Dia bilang kepadaku bahwa aku terlalu banyak memegang amanah hingga akhirnya semuanya keteteran. AKu dianggap mau merebut semua binaan yang ada di Rohis dan tidak mau membagi-bagikan kepada yang lain. Dan sumber yang dikatakan oleh Pembina Rohis itu adalah dari mantan ketua Alumniku yangh dulu. Tentu saja aku tertohok sekali dengan pernyataan itu. Aku masih merasakan betapa sakitnya kakiku yang lecet saat aku terburu-buru menempuh perjalanan kereta Lenteng Agung-Jakarta hanya untuk akhirnya menemui mentee-menteeku sudah tidak ada di sekolah. Bahkan beberapa kali kukorbankan waktu kuliahku hanya untuk tetap bisa mentoring. Dan semua hal itu dianggap merebut kekuasaan atas semua mentor di Rohis sekolahku.
Aku pun langsung menjelaskan bahwa mentorku yang sekarang adalah amanah yang telah kujalankan dari pesantren kilat diadakan dan semua alumni mendapat amanah itu. Lalu salahkah bila amanah yang ada padaku tetap berjalan sehingga banyak mentee-mentee dari kelompok lain berpindah ke dalam lingkaranku? Bukankah menurutku yang lebih salah adalah mereka yang sampai sekarang melepas begitu saja kelompok binaan mereka? Aku lalu mencoba untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan oleh mantan ketua Rohisku itu.
Ironisnya, perkataan yang dilontarkan oleh Pembina Rohis itu benar-benar telah melumpuhkan semangatku untuk terus membina. Mulai tahun itu juga aku pun memutuskan untuk tidak membina lagi. Memang dalam acara pesantren kilat selanjutnya aku masih memegang amanah sebagai mentor tetapi hasrat untuk terus melanjutkan mentoring itu tidak ada lagi dalam diriku. Dan selepas acara itu aku pun hanya bisa "mengikuti" rekan-rekan alumni yang lain. Padahal di mentoringku kali ini ada salah satu anak Ustadz DPP PKS. Tapi untuk mengirim sms aku masih tetap berjalan. Dan sebagai akibatnya hingga sekarang mentoring kelas X walaupun sudah terbentuk tapi tidak berjalan dengan baik dan intensif. Aku walaupun ingin tetapi segera mematikan hasrat untuk membina itu.
Dan Danu mengingatkan kembali manah itu lagi. Mengingatkan akan segala hal yang telah kulakukan dalam rangka dakwah di sekolah. Mengingatkan akan amanah membina yang begitu banyak disia-siakan. Beberapa teman alumi yang tidak aktif di Rohis meminta padaku agar mereka diberikan binaan, tetapi saat kuberikan, info yang kudapati binaan itu tidak berjalan. Alasan yang kudapati karena waktu mereka yang sangat padat (hallo, seberapa padat waktumu???). Setiap Ramadhan menjelang, pada saat acara SWARA akan dilaksanakan, para alumni pasti merapat kembali ke Rohis. Mulai dari mereka yang tidak aktif sampai yang tidak pernah nongol datang ke Rohis. Dan amanah pun diberikan kepada mereka untuk memegang mentor. Selepas Ramadhan mereka menghilang kembal dengan binaan dan amanah yang ditinggalkan. Padahal setahuku, membina adalah salah satu perangkat tarbiyah seorang ikhwah. Dulu kudapatkan cerita, bahwa seorang ikhwan tidak diperkenankan menikah sebelum mereka bisa memegang kelompok tarbiyah minimal 5 kelompok. Tetapi sekarang? Dan kuingat kembali dari 12 teman tarbiyahku, yang kutahu hanya 3 yang mempunyai binaan. Lalu yang lain? Waktu terlalu padat.
Suatu hari dia bertanya kepada para murid-muridnya :
" Apakah sesuatu yang paling berat di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab :
" Besi,"
" Baja,"
" Batu besar," dan yang lainnya.
Sang Imam hanya tersenyum. Lalu berkata, " Ya , apa yang kau sebutkan benar semua,".
Murid-muridnya terdiam.
" Tetapi tahukah kalian apa yang lebih besar dari itu semua?" tanya Imam Ghazali lagi dengan bijak.
Semuanya muridnya menggeleng.
" Sesungguhnya memegang amanah adalah lebih berat dari itu semua," ujar sang Imam.
Sungguh, amanah itu memang berat dan perlu pengorbanan untuk bisa menjaga dan menunaikannya.***(yas)
Setiap tahun almamater Rohis SMA-ku selalu mengadakan acara pesantren kilat yang dinamakan Studi Wisata Ramadhan (SWARA). Hingga sekarang aku menulis catatan ini, SWARA telah diselenggarakan sebanyak 18 kali. Dari mulai acara yang khusus buat anak-anak Rohis saja sampai acara ini menjadi diwajibkan oleh pihak sekolah. Tujuan diadakan acara ini pada mulanya adalah sebagai sarana pengkaderan untuk pengurus Rohis selanjutnya sekaligus membentukan kader-kader Rohis melalui mentoring. Semenjak acara ini diwajibkan maka pada saat acara berlangsung terciptalah minimal 10 kelompok mentoring ikhwan dan 10 kelompok mentoring akhwat. Dari kelompok-kelompok mentoring inilah yang nantinya diharapkan bisa terus berjalan. Setiap alumni yang masuk kriteria sebagai mentor maka diberikan amanah sebagai pemegang kelompok-kelompok tersebut. Seusai acara SWARA selesai, maka kepada para alumni itu diharapkan mengadakan acara follow-up semisal buka puasa bersama dan lain-lain dengan harapan kelompok mentoring itu bisa terus berjalan.
Inilah yang akhirnya selalu kuributkan hampir setiap tahun. Tentang amanah memegang mentoring. Pada forum rapat alumni ataupun rapat mentor dan bahkan pada acara Dauroh Murobbi, aku tak pernah bosan-bosannya mengingatkan pesan ini. Aku minta jangan sampai acara SWARA hanya sekedar rutinitas belaka saja. Rasanya uang yang dikeluarkan untuk acara ini yang berkisar sampai 30 juta rupiah akan terasa kurang manfaatnya jika kelompok mentoring yang terus bertahan hanya sedikit saja. Mereka pun memahami, karena pada dasarnya kita semua di wadah alumni memang berpikiran seperti itu.
Tapi kenyataan tidaklah seindah harapan. Pada saat penyelenggaraan acara sudah banyak mentor yang sepertinya kehabisan bahan bakar untuk mentoring. Pada saat evaluasi mentor, mereka yang mendapatkan mentee yang cenderung baik akan bersemangat menceritakannya sedangkan mereka yang mendapatkan mentee yang dicap sebagai kelompok "perlu perhatian lebih" melaporkan hasil mentoring mereka dengan biasa-biasa saja. Sehingga tidak menjadi aneh, saat saya tanyakan kepada mentee-mentee mereka nama mentor mereka kebanyakan mereka menyebutkan dengan nama yang salah atau bahkan ada yang tidak tahu nama mentor mereka sendiri. Tak jarang pula kutemukan kelompok-kelompok mentoring membaca Al-Qur'an ataupun sahur hanya ditemani asisten mentornya saja atau bahkan tidak ada yang menemani mereka. Saat kutanyakan kepada alumni yang lain kepada para mentor yang seharusnya bertugas itu, jawabannya adalah mereka sedang tertidur. Atau bahkan acara materi di ruang aula menjadi rusuh saat para peserta hanya dijaga oleh panitia acara yang berjumlah seper lima puluh dari seluruh peserta. Padahal di perjanjian dalam acara Dauroh Murobbi, setiap mentor harus menemani peserta saat acara materi berlangsung. Dan yang kudapati, para mentor justru sedang asyik bercengkrama di dalam kamar khusus mentor. Aku memang bukan orang yang bisa berbicara langsung kepada mereka tentang hal yang menurutku salah itu. Tapi pada saat acara evaluasi kuutarakan pendapatku itu.
Seusai SWARA, aku sebagai kordinator mentor meminta kepada para mentor untuk mengadakan follow-up. Tetapi hingga menjelang lebaran tak lebih dari tiga mentor saja yang menjalankan tugas itu. Yang lainnya saat kutanya alasan mereka tidak bisa follow-up, kebanyakan mengatakan bahwa mereka tidak ada waktu, tidak ada kontak person mentee mereka, sulit diajak untuk berkumpul dan lain sebagainya. Alasan yang menurutku adalah alasan yang klasik. Bahkan saat kutanyakan apakah mereka walaupun tidak bertemu tetap menjalin kontak dengan mereka, kebanyakan dari mereka menjawab dengan tidak. Apakah susahnya menulis kalimat sapaan di sebuah pesan singkat telepon genggam? Apakah membutuhkan waktu yang begitu lama? Dan akhirnya dari 20 kelompok mentoring ikhwan dan akhwan, yang jalan hanya 2 saja. Itu pun jalan dengan tersendat-sendat atau di akhwat sering gonta-ganti mentor. Dan yang sangat kusesalkan sekali, hal ini hampir terjadi setiap tahunnya. Ingin kubertanya pada mereka semua, kenapa antum tidak amanah dengan kelompok mentor antum? Bukankah dengan begitu antum telah menghalangi seseorang yang mungkin bisa mendapatkan hidayah dari acara mentoring ini? Bagaimana jika dulu, antum juga mendapatkan mentor yang seperti diri antum sekarang? Bukankah antum tidak bisa menjadi ikhwah pergerakan sekarang?
Tapi yang membuatku tak habis pikir, mereka berdalih karena amanah mereka yang banyak ditempat lain. Aktivis kampus, aktivis masjid, aktivis BEM, dan lainnya. Salah seorang ketua alumuni pernah berkata saat kutanyaakan kenapa mereka yang sudah punya banyak amanah harus diberikan amanah lagi? Dia hanya menjawab bahwa orang yang banyak amanah untuk bisa menjalankan amanah itu maka harus diberi tambahan amanah. Jawabannya membuatku semakin bingung.
Teringatlah aku akan dulu saat aku mendapat amanah menjadi seorang mentor. Aku masih ingat, bahwa aku bukanlah orang yang masuk kriteria sebagai mentor menurut kacamata mantan ketua alumniku. Dia cenderung melihat seseorang dari sisi luarnya saja. Yang "kelihatan ikhwan" banget itulah yang dia pilih. Karena aku adalah ikhwan yang agak-agak "melenceng" sedikit maka aku bukanlah pilihannya. Aku adalah orang yang cenderung modern. Aku yang selalu mengusulkan agar acara-acara di Rohis tidaklah yang kolot tetapi harus yang bisa dinikmati orang banyak. Tetapi pada saat tidak ada pilihan lagi, ketua itu memberikanku amanah sebagai mentor dengan rasa terpaksa dan kelompok yang diberikan adalah kelompok "butuh perhatian lebih".
Aku menikmati setiap detik saat aku menjadi mentor. Aku begitu ingin sangat perhatian terhadap mentee-menteeku. Saat mereka membutuhkan sesuatu, kalau kubisa pasti aku akan memenuhinya. Aku rela merogoh kocek lebih dalam untuk membelikan air minum satu karton untuk para menteeku agar mereka tidak perlu antri mengambil air minum di gallon. Aku mencarikan mereka air panas saat mereka ingin memakan mie seduh. Aku menemani mereka mencari sandal yang ketukar dengan peserta lain. Aku menikmati peran itu. Hingga mereka pun tak segan untuk bercerita tentang diri mereka kepadaku. Aku juga sering menulis pesan-pesan singkat di buku catatan materi mereka. Kubuat kata-kata yang lebih akrab agar mereka percaya padaku. Sesaat sebelum pulang dari acara SWARA ini, kami berjanjian untuk buka puasa bersama sekaligus meneruskan mentoring ini. Dan setelah semua usaha yang kulakukan ini, akhirnya mentoring ii tetap bisa kupertahankan berjalan rutin seminggu sekali. Bahkan beberapa anak yang mentornya tidak jalan segera kuajak bergabung dengan kelompokku ini. Hingga akhirnya kelompokkulah satu-satunya yang berjalan di bagian ikhwan.
Rasa gembira segera memancar dari diiriku saat kulihat bahwa mentor-mentorku bukanlah murni anak Rohis. Mereka ada yang dari ekskur bola, basket, PMR, dan kesenian. Dan dengan kesadaran mereka sendiri, maka mereka memutuskan untuk berpindah ekskur ke ekskur Rohis. Dan Rohis pun menemukan kembali calon-calon generasi berikutnya. Memang dalam perjalanan tarbiyah mereka ada beberapa anak yang akhirnya harus mengundurkan diri dari lingkaran kecil ini. Tapi banyak juga yang akhirnya dengan penuh kesabaran bisa mengubah jalan hidup mereka 180 derajat. Dari mereka yang tidak terbiasa sholat lima waktu sampai mereka akhirnya melaksanakan sholat lima waktu dengan sholat-sholat sunnah sebagai tambahan. Hal-hal yang terjadi pada mentee-menteeku hanya bisa kupanjatkan syukur kepada Allah SWT. Dan hal ini terus berjalan hingga beberapa tahun kedepan. Aku selalu dijadikan mentor bagi anak-anak yang "butuh perhatian lebih" dan selalu kubuktikan bahwa tidak peduli siapapun mereka aku selalu mencoba membuat tertarik dengan Rohis dan dengan Islam. Dan sebaliknya teman-teman yang diamanahkan memegang kelompok unggulan selalu berakhir dengan bubarnya kelompok itu dan mereka yang diunggulkan berubah dan sama sekali menghilang dari Rohis. Aku tetap tidak mau berbangga diri. Dan rasanya memang tak pantas aku berbanga diri. Siapakah aku hingga patut berbangga diri. Yang kurasakan semua ini hanyalah memang jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah. Yang menghantarkan hidayah adalah Allah an mungkin aku hanyalah perantaranya saja. Aku hanya bisa berbagi pengalaman dan tips kepada teman-temanku yang lain.
Lalu sebuah teguran keras datang kepadaku melalui Pembina Rohis baru yang memang aku kurang begitu cocok dengan karakternya. Dia bilang kepadaku bahwa aku terlalu banyak memegang amanah hingga akhirnya semuanya keteteran. AKu dianggap mau merebut semua binaan yang ada di Rohis dan tidak mau membagi-bagikan kepada yang lain. Dan sumber yang dikatakan oleh Pembina Rohis itu adalah dari mantan ketua Alumniku yangh dulu. Tentu saja aku tertohok sekali dengan pernyataan itu. Aku masih merasakan betapa sakitnya kakiku yang lecet saat aku terburu-buru menempuh perjalanan kereta Lenteng Agung-Jakarta hanya untuk akhirnya menemui mentee-menteeku sudah tidak ada di sekolah. Bahkan beberapa kali kukorbankan waktu kuliahku hanya untuk tetap bisa mentoring. Dan semua hal itu dianggap merebut kekuasaan atas semua mentor di Rohis sekolahku.
Aku pun langsung menjelaskan bahwa mentorku yang sekarang adalah amanah yang telah kujalankan dari pesantren kilat diadakan dan semua alumni mendapat amanah itu. Lalu salahkah bila amanah yang ada padaku tetap berjalan sehingga banyak mentee-mentee dari kelompok lain berpindah ke dalam lingkaranku? Bukankah menurutku yang lebih salah adalah mereka yang sampai sekarang melepas begitu saja kelompok binaan mereka? Aku lalu mencoba untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan oleh mantan ketua Rohisku itu.
Ironisnya, perkataan yang dilontarkan oleh Pembina Rohis itu benar-benar telah melumpuhkan semangatku untuk terus membina. Mulai tahun itu juga aku pun memutuskan untuk tidak membina lagi. Memang dalam acara pesantren kilat selanjutnya aku masih memegang amanah sebagai mentor tetapi hasrat untuk terus melanjutkan mentoring itu tidak ada lagi dalam diriku. Dan selepas acara itu aku pun hanya bisa "mengikuti" rekan-rekan alumni yang lain. Padahal di mentoringku kali ini ada salah satu anak Ustadz DPP PKS. Tapi untuk mengirim sms aku masih tetap berjalan. Dan sebagai akibatnya hingga sekarang mentoring kelas X walaupun sudah terbentuk tapi tidak berjalan dengan baik dan intensif. Aku walaupun ingin tetapi segera mematikan hasrat untuk membina itu.
Dan Danu mengingatkan kembali manah itu lagi. Mengingatkan akan segala hal yang telah kulakukan dalam rangka dakwah di sekolah. Mengingatkan akan amanah membina yang begitu banyak disia-siakan. Beberapa teman alumi yang tidak aktif di Rohis meminta padaku agar mereka diberikan binaan, tetapi saat kuberikan, info yang kudapati binaan itu tidak berjalan. Alasan yang kudapati karena waktu mereka yang sangat padat (hallo, seberapa padat waktumu???). Setiap Ramadhan menjelang, pada saat acara SWARA akan dilaksanakan, para alumni pasti merapat kembali ke Rohis. Mulai dari mereka yang tidak aktif sampai yang tidak pernah nongol datang ke Rohis. Dan amanah pun diberikan kepada mereka untuk memegang mentor. Selepas Ramadhan mereka menghilang kembal dengan binaan dan amanah yang ditinggalkan. Padahal setahuku, membina adalah salah satu perangkat tarbiyah seorang ikhwah. Dulu kudapatkan cerita, bahwa seorang ikhwan tidak diperkenankan menikah sebelum mereka bisa memegang kelompok tarbiyah minimal 5 kelompok. Tetapi sekarang? Dan kuingat kembali dari 12 teman tarbiyahku, yang kutahu hanya 3 yang mempunyai binaan. Lalu yang lain? Waktu terlalu padat.
Ya Allah, jagalah kami agar menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya
agar kami tidak menjadi orang yang kau timpakan siksa karena amanah yang tidak kami jalani denga baik.
Sebuah cerita terulang kembali di otakku, tentang amanah dari Imam Ghazali.agar kami tidak menjadi orang yang kau timpakan siksa karena amanah yang tidak kami jalani denga baik.
Suatu hari dia bertanya kepada para murid-muridnya :
" Apakah sesuatu yang paling berat di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab :
" Besi,"
" Baja,"
" Batu besar," dan yang lainnya.
Sang Imam hanya tersenyum. Lalu berkata, " Ya , apa yang kau sebutkan benar semua,".
Murid-muridnya terdiam.
" Tetapi tahukah kalian apa yang lebih besar dari itu semua?" tanya Imam Ghazali lagi dengan bijak.
Semuanya muridnya menggeleng.
" Sesungguhnya memegang amanah adalah lebih berat dari itu semua," ujar sang Imam.
Sungguh, amanah itu memang berat dan perlu pengorbanan untuk bisa menjaga dan menunaikannya.***(yas)
My work room, February 16, 2009
at 15.50 pm
Salam kangen untuk semua menteeku
Terutama Akmal, Danu, Selamet dan Yani
Semoga Allah selalu melindungi kalian...
at 15.50 pm
Salam kangen untuk semua menteeku
Terutama Akmal, Danu, Selamet dan Yani
Semoga Allah selalu melindungi kalian...
No comments:
Post a Comment