Perjalanan adalah sebuah garis lurus yang membentang di depan matamu. Kau tidak perlu berjalan terlalu ke arah kanan atau ke arah kiri. Kau cukup berjalan di tengah-tengah saja.
Wednesday, February 18, 2009
CINTA YANG MENGALAHKAN TARBIYAH
Seseorang baru saja berbicara kepada saya tentang sikap yang dilakukan temannya. Temannya dia secara diam-diam menjalin "persahabatan" dengan seorang pria yang belum terikat dalam tarbiyah dan bisa digolongkan sebagai sang hanif.
" Loh, dia bilang sudah nggak berhubungan lagi dengan dia?" tanyaku.
" Nggak tau juga deh. Dia bilang sih emang begitu. Tapi ada info dari sumber yang terpercaya kalau dia masih sering chatting lewat YM and fesbuk dengan pake emoticon yang..." seseorang itu menghentikan pembicaraan karena merasa tidak enak.
Ya, kabar ini kudapat jauh beberapa bulan yang lalu. Saat itu akhwat ini meminta pendapatku tentang seorang hanif tadi. Awal mulanya mereka berua adalah hanyalah aktivis kampus yang kemudian menjadi suka pada pandangan pertama. Tapi yang menjadi problem adalah sang hanif ini bukanlah orang pergerakan dan belum tarbiyah. Lalu kuberikan pendapat ada baikknya bagi dia untuk memilih pasangan hidup dari kalangan tarbiyah saja karena mungkin cara ini bisa dikatakan lebih aman. Bila dua orang yang sudah tarbiyah dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan maka Insya Allah visi dan misi mereka dalam membangun rumah tangga yang Islami sudah jelas.
" Tapi Bang, ikhwan ini mau kok aku suruh ngaji.Dan sekarang dia juga sudah mulai ngaji," akhwat itu mencoba memberikan argumennya.
" Ukhti, akan lebih aman bila antum mendapatkan ikhwan yang tarbiyah sama seperti antum. Bukankah itu bisa menjadi satu pilihan yang mungkin lebih aman ketimbang antum memilih ikhwan yang baru. Bila mendapatkan ikhwan yang dalam pergerakan yang sama dengan kita Insya Allah segala masalah bisa diselesaikan dengan baik," ujarku memberikan saran.
Dan setelah itu memang akhwat itu memutuskan untuk tidak meneruskan "persahabatan" nya dengan sang hanif. Hingga kuterima kabar yang kutulis di kalimat awal.
Fenomena seperti ini memang sudah sering kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Banyak sekali ikhwan dan akhwat yang dengan alasan mengikuti perkembangan mode, mencoba untuk menghias dirinya (gapura kali dihias...hehehe). Aku sendiri tidak mempermasalahkan itu karena menurutku sih sah-sah saja mempercantik diri. Tapi akhirnya ada beberapa orang yang kebablasan. Terjebak dalam tabarruj yang berlebihan. Mungkin istilah anak sekarang adalah "lebay". Dengan dalih sekarang sudah zaman terbuka, berjalan berdua antara sesama aktivis ikhwan dan akhwat sudahlah menjadi lumrah. Menggulung-gulung jilbab (ngapain juga jilbab digulung ya?) sesuai mode menjadi syar'i dalam pandangan mereka. Hingga semula kulihat seorang akhwat yang berjilbab panjang dan anti celana panjang maka secara drastis memperpendek jilbabnya dan tak canggung lagi memakai celana panjang, baik itu celana bahan maupun jeans.
Terlepas dari itu semua, yang paling mengkhawatirkan bagiku adalah fenomena pacaran yang mulai menjangkiti para aktivis. Aku pernah memergoki seorang ikhwan dan akhwat berjalan bergandengan tangan di sebuah pusat perbelanjaan. Segera aku tabayyun ke teman alumni di almamaterku, mungkin saja mereka berdua sudah menikah. Tapi jawaban yang kudapati adalah sebaliknya. Atau kali lain aku pernah bertemu seorang akhwat yang sedang jalan bareng dengan seorang teman laki-lakinya yang bukan orang tarbiyah maupun pergerakan. Hingga akhirnya ujung-ujungnya mereka berdua menikah. Atau ada juga yang saking bebasnya pergaulan, pergi ke tempat-tempat yang dulu adalah tabu bagi aktivis sekarang menjadi lumrah. Aku pun tak memungkiri sering pergi ke bioskop bila ingin menonton film yang bagus, atau pergi foodcourt, dll. Tapi aku sering memilih bioskop yang jaraknya sangat jauh dri pusat aktivitasku. Misal, aku yang tinggal di Jakarta, memilih untuk pergi ke depok hanya sekedar penasaran ingin memonton film. Masih tersisa sedikit malu di hatiku bila aku bertemu dengan teman-temanku. (^__^)
Kembali lagi ke persoalan sang akhwat dan sang hanif, lalu dimana hasil tarbiyah yang telah tertempa selama beberapa tahun? Apakah dengan mudah cinta mengalahkan tarbiyah kita yang sudah kita pupuk selama bertahun-tahun. Ingatkah saat kita pertama kali memilih jalan yang berbeda dengan kebanyakan orang, yaitu jalan dakwah. Memutuskan untuk memakai jilbab, menutup aurat kita dan mengabdikan diri kita hanya untuk berjuang di jalan penuh rintangan ini. Kita mungkin pernah juga, baik secara ekstrim maupun persuasif, memperingati orang untuk tidak melakukan sesuatu hal yang tidak berguna dan laghwi, seperti pacaran, merayakan valentin, dll. Hingga kita pun bertekad ingin membentuk sesuatunya serba islami. Rumah tangga Islami, masyarakat islami dan negara Islami.
Lalu datanglah sepotong cinta di hati kita. Sepotong cinta yang menguji kematangan tarbiyah kita. Yang bisa menghasilkan dua pilihan bagi diri kita, cinta yang mengalahkan tarbiyah atau justru kematangan tarbiyah yang memendam perkembangan cinta. Semuanya pun memilih. Memilih dengan mengedepankan hujjah tarbiyah atau mengedepankan nafsu semata. Bagi mereka yang memilih mengedepankan tarbiyah ketimbang cinta semu semata, meyakinkan diri sendiri bahwa semua proses apapun itu harus mengedepankan redho Allah SWT. Hingga menemukan cinta pun memakai jalur yang benar. Menggunakan fasilitas tarbiyah untuk menemukan cinta yang sejati. Menjadikan tarbiyah sebagi pondasi dalam membangun cinta. Karena diri ini yakin bahwa Allah memilihkan jodoh untuknya. Hingga virus bernama cinta pun tak mampu untuk merobohkan dinding tarbiyah yang menghujam kuat.
Tapi bagi mereka yang memenangkan cinta atas tarbiyah, sesungguhnya seperti membangun tembok tinggi lalu menghancurkannya sendiri. Sebuah hasil jerih payah yang beberapa lama diusahakan lalu tiba-tiba seperti hilang tanpa bekas. Perasaan sedih sang Murobbi pun pasti ada untuk kita. Kemudian karena perasaan tidak enak perlahan-lahan mulai jarang datang tarbiyah. Sampai ujung terjadi pembiasaan untuk tidak tarbiyah hingga akhirnya dulu kita yang menginginkan berbeda dengan yang lain sekarang kita tak ada bedanya orang lain. Dan cinta pun mengalahkan tarbiyah. Tarbiyah kita. Tarbiyah yang menjadikan kita berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Sekarang bila itu terjadi pada kita, seperti yang terjadi pada sang akhwat, akan memilih yang manakah kita? Maukah kita kembali menjadi kecil lagi dengan meninggalkan tarbiyah? Atau menjadi semakin besar dengan tidak terpengaruh sedikit pun dengan hal yang remeh temeh seperti cinta? Walaupun cinta anugerah tetapi bukankah lebih baik bila dia didatangkan pada waktunya nanti? Pada saat cinta itu sudah menjadi indah dan halal untuk dinikmati. Semua pilihan ada di dalam hati wahai akhi dan ukhti. Pilihan untuk menentukan jalan cinta kita. Menyemai cinta itu dengan penuh keredhoan Allah atau mulai memetik cinta itu hingga akhirnya dia akan menjadi layu pada saat seharusnya dinikmati? Wallahu'alam Bishowab.
Teringatlah aku akan sebuah keluhan seorang teman ketika dia menasehati saya tentang pernikahan. Dia seorang ikhwan, yang mempunyai istri "orang biasa" bukan akhwat. Dia menikahi istrinya tersebut pada saat dia dalam kondisi futur. Padahal ikhwan tersebut bisa dikatakan sebagai orang-orang yang paling awal dalam tarbiyah. Dia berpesan sedikit kepadaku.
" Lebih baik nanti antum mencari istri yang akhwat saja. Yang sama-sama tarbiyah. Jangan seperti ane. Sekarang ane kesulitan mengurus anak karena kita nggak satu visi,".
Aku hanya mengangguk dan menyimpan perkataan itu dalam hati.
Ya Allah, bila saatnya nanti kuinginkan pendamping hidup dari hasil tarbiyahku selama ini..
Jagalah hamba Ya Allah agar tidak mengorbankan tarbiyah ini hanya karena cinta sesaat...
Sesungguhnya, aku hanyalah hamba-Mu yang dhoif dan selalu salah jalan...
Bait lagu "Mengemis Kasih"nya The Zikr seolah terdengar lagi di diriku.
Tuhan dulu pernah aku menagih simpati
Kepada manusia yang alpa juga buta
Lalu terhiritlah aku di lorong gelisah
Luka Hati yang berdarah kini jadi kian parah
Semoga, aku, kamu, dan kita semua selalu istiqomah dengan tarbiyah ini. Amiinnn***(yas)
My work room, February 18, 2009
at 18.05 pm
Tuesday, February 17, 2009
KUKATAKAN DENGAN CINTA
(sebuah Puisi)
Ya akhi……
Malam ini aku tak bisa memejamkan mata
Aku tak kuasa untuk tak berfikir tentang dirimu
Tentang persahabatan kita
Tentang ikatan tali persaudaraan kita yang telah terjalin lama
Yang disulam dengan benang ukhuwah dan kain emas taqorrub Ilallah
Dalam bait-bait nada keimanan dengan syair penuh ketaqwaan
Yang menjadikan kita semakin kuat dalam menempuh jalan-Nya
Sehingga tak sedikitpun onak dan duri yang menyentuh dan bersemayam dalam jejak-jejak langkah kita kurasakan sakitnya
Perih itu telah menjelma menjadi sebuah rasa cinta yang tahan terhadap segala apa pun bentuk rintangan
Tak ada rasa sakit…yang ada hanya rasa rindu akan sebuah kasih dan sayang
Asalakan kau selalu berjalan di sisiku
Kita akan bisa melewati segalanya di ajaln dakwah ini
Hingga pintu gerbang kemenangan bisa kita lihat jelas di depan mata
Dan wangi surga-Nya tercium di indra penciuman kita
Saat itulah cahaya-Nya akan muncul untuk menyambut kita hamba-Nya
Ya Akhi…
Malam ini aku semakin sayang padamu
Tak sedikit pun rasa di dalam hatiku untuk melupakan dirimu
Aku tak mau kehilangan wajah teduhmu yang senantiasa mengingatkanku pada Rabb-ku yang Satu
Persahabatan yang kita jalin kujanjikan tak akan pernah lekang oleh waktu
Biarkan Allah menjadi daarnya saat kukatakan aku mencintaimu
Agar kesucian cinta kita tak ternoda oleh niatan-niatan lain yang dapat mendatangkan murka-Nya
Kita sudah berjanji pada-Nya bahwa cinta pada diri kita hanya dilandaskan pada-Nya
Hingga Dia akan menguatkan ikatan cinta suci kita dan mengeratkannya selalu
Karena Dia redho dengan apa yang kita lakukan
Kau cinta padaku karena Allah
Dan aku cinta padamu karena Allah
Semoga Dia menajag cinta kita agar tetap berjalan sebagaimana mestinya dalam koridor aturan-Nya
Ya Akhi…
Malam ini aku sakit
Aku tak bisa berpaling darimu setelah ikatan cinta-Nya mengikat diriku dan dirimu
Tak ada kata yang bisa kutulis lagi dalam pikiranku
Tak ada lagi kata yang bisa kuukir dalam hatimu
Malam ini aku remuk memikirkannya
Meminta izin pada-Nya tentang sebuah kata yang bisa menyatukan kau dengan diriku
Hingga aku menangis dalam pelukan-Nya
Dan menemukan sebuah kata yang bisa kukatakan padamu
Hanya cinta yang bisa kukatakan padamu akhi
Cinta yang datang dari-Nya untuk kita hamba-Nya
Semuanya kukatakan padamu dengan cinta
Hingga tak menyisakan sedikitpun kotor hati yang bisa membuat kita merana
Karena semuanya kukatakan dengan cinta
Semoga persahabatan tulus kita yang dilandasi kecintaan pada-Nya terus berlanjut hingga ke negeri akherat sana
Ya Akhi…
Malam ini aku hanya bisa mendoakanmu
Juga…
Dengan cinta ……***(YAS)
Jakarta,28/2/4
Dini hari
Mengenang seorang sahabat
I JUST WANNA BE AN ORDINARY PEOPLE
Kalimat itu sempat saya tulis besar-besar di sebuah buku ukuran setengah halaman A4 dengan kover berwarna biru. Buku yang selalu menemani kegiatan sehari-hari saya. Tempat menumpahkan segala hal tentang diri saya. Tempat “curhat” teraman bagi diri saya.
Why? Saya benar-benar merasa capek dan lelah dalam berdakwah. Saya merasa gagal. Segala usaha yang selalu saya rancang dengan penuh pertimbangan selalu tidak membuahkan hasil. Segala rencana yang berujung indah ternyata hanya berujung kegagalan. Hingga saya merasa bersalah, kecewa, dan gagal.
“ Gimana nih Bang, anak kelas X nya nggak ada yang mau ikut dauroh?”
“ Bang kok acara yang udah kita konsep bareng peminatnya sedikit ya?”
“ Yass, Ibu dapat teguran dari guru-guru yang lain kalau pengajar Bina Rohis guru-gurunya sering nggak datang,”
“ Afwan Akh, antum sudah gagal total,”
Ya Allah!
Belum lagi permasalahan saya dengan dakwah selesai, datang lagi tuntutan dari orang tua kepada saya. Saya mendapatkan teguran karena dianggap terlalu mementingkan orang lain sehingga tidak mengurus diri sendiri. Tuntutan ekonomi dari orang tua pun juga mendera saya.
“ Jangan terlalu banyak kegiatan mending kamu cari kerja,”
“ Bantu Ibu bayar telepon dong,”
“ Seharusnya kamu di usia seperti ini sudah kerja, lihat tuh teman kamu itu.”
“ Cepat kerja, setelah itu pergi dari rumah ini segera, jangan seperti benalu pada orang tua,”
Ya Allah! Ya Karim!
Masalah seolah tak mau lepas dari diri saya untuk saat ini. Saat saya berharap “lingkaran kecil” yang sudah saya ikuti sejak zaman putih abu-abu dapat memberikan sedikit pencerahan pada diri saya, malah membuat hati saya semakin gundah…
“ Afwan akhi, acaranya ditunda nggak sekarang,”
“ Afwan akhi, MR kita lagi ke luar kota jadi pekan ini nggak ada acara,”
“ Kayaknya minggu ini nggak acara lagi deh akh,”
Hati saya pun semakin terasa parah bak terkena sembilu. Kalaupun acara pekanan ada hanya dihadiri segelintir orang saja, itu juga dengan waktu yang sudah tidak sesuai janji. Dan berkali-kali acara pekanan dibatalkan atau sekadar bincang-bincang saja karena kuota personilnya yang tak lengkap.
Ya Rahman! La Hawla Wala Quwwta Ila Billah…
Berikan hamba ketabahan Ya Allah…
Lalu munculah ide itu. Just wanna be an ordinary people. Saya ingin menjadi seperti orang kebanyakan. Menjalani hidup sehari-hari tanpa perlu memikirkan dakwah. Tanpa pernah merasa bersalah bila dakwah tak berhasil ditegakkan. Setelah itu fokus mencari pekerjaan dan konsentrasi penuh dengan pekerjaan yang sudah didapatkan. Terakhir berhenti total dari “lingkaran kecil” dan menjadi anggota majelis taklim saja.
Saya hanya ingin menjadi orang yang biasa saja. Seperti teman-teman biasa saya yang lain. Selesai sekolah lalu kuliah, bekerja dan menikah. Juga teman Rohis saya kebanyakan, cukup dakwah saat di Rohis atau LDK saja setelah itu konsentrasi penuh dengan dunia kerja dan mengumpulkan materi untuk masa depan. Melihat mereka yang terasa tanpa beban menjalani hari-hari mereka. Tak akan merasa bersalah bila tak ada kader dakwah yang lain lagi. Tak merasa terbebani bila acara Muharam tak berjalan dengan sukses. Tak merasa bersalah bila tak datang mengajar kajian Islam di alamamaternya dulu. Ya Allah berdosakah saya dengan timbulnya pikiran seperti itu?
Tak lama saya pun segera menemui-Nya untuk berkonsultasi juga berkeluh kesah. Saat rembulan bersinar Purnama dan suasanan hening, sejuk, dan langit ditaburi berjuta bintang. Berbekal sebuah sajadah saya pun segera menunaikan shalat sunnah dua rakaat dalam kesendirian. Memori-memori yang melatasi kegundahan saya pun terputar ulang…
Untuk dakwah di almamater SMA saya yang terasa gagal. Usaha saya untuk menhgubungi adik-adik ikhwan di kelas satu untuk ikut kegiatan mentoring ternyata nihil belaka. Berkali-kali saya teleponi mereka, dan berkali-kali nihil. Juga saat mengkonsep acara kajian semenarik mungkin dengan target peserta yang ikut seratus ternyata hanya diikuti seperduapuluhnya saja. Tak terhitung lagi berapa banyak pulsa, tenaga, dan waktu yang saya keluarkan yang terasa dalam kesiaan belaka dan berujung pada keluhan saja. Seperti apakah perasaan Nabi Nuh saat bertahun-tahun berdakwah hanya diikuti empat puluh orang saja?
Juga untuk umur saya yang semakin meningkat tetapi belum juga mendapatkan pekerjaan. Saat tuntutan ekonomi didera oleh orang tua. Saat melihat teman-teman yang lain sudah mendapatkan gelar kesarjanaan sedangkan saya harus memulai perkuliahan dari awal lagi karena sempat drop-out. Saat teman-teman dengan mudah membeli benda-benda yang mereka inginkan, sedangkan saya harus mengumpulkan uang mati-matian untuk membayar kuliah. Saat teman-teman sudah mulai saling membanggakan dirinya dengan karier yang telah mereka dapatkan sedangkan saya selalu malu bila ditanya kegiatan yang dilakukan saat ini. Saat kakak-kakak saya memberikan tenggang waktu untuk keluar dari rumah. Saat yang lain memandang jelas masa depannya sedangkan saya terasa buram memandang hal yang bernama masa depan.
Terakhir untuk tarbiyah saya yang belum benar. Saat teman-teman yang lain berlomba-lomba menggapai tingkatan marhalah dalam tarbiyah, saya seperti berjalan di tempat. Saat teman satu lingkaran sudah sukses dengan karier mereka masing-masing, hanya saya yang tertinggal sendirian. Tinggal saya yang mengasihani diri saya sendiri.
Ya Allah…kenapa kau buat segalanya jadi begini? Bukankah Engkau Maha Berkehendak? Kenapa hamba selalu merasa kekurangan rezeki? Bukankah Engkau Maha Pemberi Rezeki? Mengapa tidak segera kau bukakan pintu-pintu hati adik-adik kelasku? Bukankah Engkau Yang Maha Membolak-balikkan Hati? Kenapa lamaran kerja hamba selalu berujung pada penolakan? Bukankah Engkau akan selalu menolong hamba-Nya yang membutuhkan? Kenapa kau bedakan hamba dengan teman hamba yang lain? Kenapa Ya Allah…? Kenapa dakwah terasa berat? Kenapa hidup terasa sempit?
Saya pun hanya bisa menagis sejadi-jadinya layaknya seorang anak kecil. Bertanya terus kepada Allah atas segala hal yang terjadi pada saya saat ini. Atas gundah yang melekat di hati saya.
Pertanyaan saya pun menguap begitu saja tanpa terjawab. Saya segera bangkit kembali untuk mengakhiri qiyam saya dengan tiga rakaat witir.
Ya Allah Maafkan hamba-Mu yang Maha Dhoif ini, yang hanya bisa berkeluh kesah, yang hanya bisa menyalahkan diri-Mu. Maafkan hamba-Mu yang tak pernah sabar, yang selalu terburu-buru, dan yang selalu menginginkan sesuatu dengan cepat. Maafkanlah Ya Allah…atas segala kelancangan diri hamba…
Terasa sekali ada perbedaan setelah kewajiban sunnah yang utama setelah sholat fardhu itu saya laksanakan. Gundah saya perlahan terasa mengikis. Rasa cemas dan pesimis seolah mulai menghilang. Lumbung resah saya pun mulai berkurang dengan pasti. Di pembaringan saya merenung sejenak.
“ Bang, saya pilih ekskul Rohis saja deh, abis lebih menentramkan jiwa.”
“ Sejak ikut mentoring, alhamdulillah saya sudah mulai bisa mengontrol kelakuan buruk saya Bang,”
“ Rohis memberikan kedamaian kepada saya Bang,”
Suara-suara adik-adik kelas saya terngiang kembali. Saya pun teringat kepada mereka yang beralih ekskur ke Rohis. Yang meninggalkan kehidupan gelap mereka dan mencoba menemukan sedikit cahaya di Rohis.
Suara-suara teman-teman saya juga terngiang dengan jelas.
“ Aduh akh, semenjak kerja saya sudah nggak bisa dakwah lagi nih, terasa ada yang kurang,”
“ Akh, ana ingin dakwah lagi. Ana merasa hidup ana stagnan.”
“ Akh, ana bosan dengan rutinitas kantor, ana ingin kembali ke dakwah seperti dulu lagi.”
Mereka yang merasa kehilangan “jiwa” mereka di dalam dakwah. Mereka yang ingin kembali berdakwah kembali.
Juga komentar beberapa tetangga sebelah rumah.
“ Ibu mah beruntung banget ya punya anak yang nggak macam-macam. Nggak terjebak narkoba seperti anak saya,”
“ Untung banget ya Bu punya anak yang nggak ngelawan sama orang tuanya, nggak kayak anak saya yang sering banget ngelawan orang tua,”
Alhamdulillah…! Sgala puji hanya milikmu Ya Allah.
Saya lalu seolah menemukan kekuatan baru lagi. Secercah harapan menghampiri relung jiwa saya lagi.
Harapan untuk tetap berdakwah di SMA saya dulu.
Saya akan terus menghubungi terus adik-adik kelas saya untuk ikut mentoring. Seperduapuluh anak yang mulai komitmen akan mulai saya bina. Mungkin mereka adalah yang telah dipilih oleh Allah. Saya pun tak akan jera untuk mengkonsep acara-acara kajian semenarik mungkin walaupun hasilnya akan tetap sama. Saya yakin Allah akan bersama saya dan membantu saya. Saya harus terus optimis.
Saya juga akan mencoba setiap kesempatan kerja yang datang pada saya. Berapa lamaran pun akan terus saya buat dan kirim. Saya akan menunggu masa itu. Masa Allah menentukan waktunya untuk saya. Saya harus yakin bahwa Allah tak akan menyusahkan saya diluar kemampuan diri saya. Dan janji Allah untuk manusia yang berjalan di jalan-Nya pasti akan dipenuhi. Karena hanya Dialah yang Maha Menepati Janji.
Juga di “lingkaran kecil” saya akan berbuat yang terbaik. Mencoba memberikan tausiyah kepada mereka yang sudah mulai “menyimpang” dan saling tauladan mentauladani. Mencerahkan kembali “lingkaran” itu seperti sedia kala.
Hati saya pun berbunga-bunga kembali. Optimis menyemai kembali. Semangat tersedia lagi berjuta-juta ton. Segera saya mengambil diary biru saya. Membuka halaman terakhir yang saya tulis. Menyilangkan kalimat I just wanna be an ordinary people dan disampingnya menulis… I JUST WANNA BE A DIFFERENT PEOPLE!!
Saksikan Ya Allah…atas tekad hamba-Mu ini…***(YAS)
“ Tak ada yang lebih baik di mata Allah selain para da’i yang bertaqwa dan ikhlas hanya karena-Nya,”
DANU DAN KISAH TENTANG AMANAH
Setiap tahun almamater Rohis SMA-ku selalu mengadakan acara pesantren kilat yang dinamakan Studi Wisata Ramadhan (SWARA). Hingga sekarang aku menulis catatan ini, SWARA telah diselenggarakan sebanyak 18 kali. Dari mulai acara yang khusus buat anak-anak Rohis saja sampai acara ini menjadi diwajibkan oleh pihak sekolah. Tujuan diadakan acara ini pada mulanya adalah sebagai sarana pengkaderan untuk pengurus Rohis selanjutnya sekaligus membentukan kader-kader Rohis melalui mentoring. Semenjak acara ini diwajibkan maka pada saat acara berlangsung terciptalah minimal 10 kelompok mentoring ikhwan dan 10 kelompok mentoring akhwat. Dari kelompok-kelompok mentoring inilah yang nantinya diharapkan bisa terus berjalan. Setiap alumni yang masuk kriteria sebagai mentor maka diberikan amanah sebagai pemegang kelompok-kelompok tersebut. Seusai acara SWARA selesai, maka kepada para alumni itu diharapkan mengadakan acara follow-up semisal buka puasa bersama dan lain-lain dengan harapan kelompok mentoring itu bisa terus berjalan.
Inilah yang akhirnya selalu kuributkan hampir setiap tahun. Tentang amanah memegang mentoring. Pada forum rapat alumni ataupun rapat mentor dan bahkan pada acara Dauroh Murobbi, aku tak pernah bosan-bosannya mengingatkan pesan ini. Aku minta jangan sampai acara SWARA hanya sekedar rutinitas belaka saja. Rasanya uang yang dikeluarkan untuk acara ini yang berkisar sampai 30 juta rupiah akan terasa kurang manfaatnya jika kelompok mentoring yang terus bertahan hanya sedikit saja. Mereka pun memahami, karena pada dasarnya kita semua di wadah alumni memang berpikiran seperti itu.
Tapi kenyataan tidaklah seindah harapan. Pada saat penyelenggaraan acara sudah banyak mentor yang sepertinya kehabisan bahan bakar untuk mentoring. Pada saat evaluasi mentor, mereka yang mendapatkan mentee yang cenderung baik akan bersemangat menceritakannya sedangkan mereka yang mendapatkan mentee yang dicap sebagai kelompok "perlu perhatian lebih" melaporkan hasil mentoring mereka dengan biasa-biasa saja. Sehingga tidak menjadi aneh, saat saya tanyakan kepada mentee-mentee mereka nama mentor mereka kebanyakan mereka menyebutkan dengan nama yang salah atau bahkan ada yang tidak tahu nama mentor mereka sendiri. Tak jarang pula kutemukan kelompok-kelompok mentoring membaca Al-Qur'an ataupun sahur hanya ditemani asisten mentornya saja atau bahkan tidak ada yang menemani mereka. Saat kutanyakan kepada alumni yang lain kepada para mentor yang seharusnya bertugas itu, jawabannya adalah mereka sedang tertidur. Atau bahkan acara materi di ruang aula menjadi rusuh saat para peserta hanya dijaga oleh panitia acara yang berjumlah seper lima puluh dari seluruh peserta. Padahal di perjanjian dalam acara Dauroh Murobbi, setiap mentor harus menemani peserta saat acara materi berlangsung. Dan yang kudapati, para mentor justru sedang asyik bercengkrama di dalam kamar khusus mentor. Aku memang bukan orang yang bisa berbicara langsung kepada mereka tentang hal yang menurutku salah itu. Tapi pada saat acara evaluasi kuutarakan pendapatku itu.
Seusai SWARA, aku sebagai kordinator mentor meminta kepada para mentor untuk mengadakan follow-up. Tetapi hingga menjelang lebaran tak lebih dari tiga mentor saja yang menjalankan tugas itu. Yang lainnya saat kutanya alasan mereka tidak bisa follow-up, kebanyakan mengatakan bahwa mereka tidak ada waktu, tidak ada kontak person mentee mereka, sulit diajak untuk berkumpul dan lain sebagainya. Alasan yang menurutku adalah alasan yang klasik. Bahkan saat kutanyakan apakah mereka walaupun tidak bertemu tetap menjalin kontak dengan mereka, kebanyakan dari mereka menjawab dengan tidak. Apakah susahnya menulis kalimat sapaan di sebuah pesan singkat telepon genggam? Apakah membutuhkan waktu yang begitu lama? Dan akhirnya dari 20 kelompok mentoring ikhwan dan akhwan, yang jalan hanya 2 saja. Itu pun jalan dengan tersendat-sendat atau di akhwat sering gonta-ganti mentor. Dan yang sangat kusesalkan sekali, hal ini hampir terjadi setiap tahunnya. Ingin kubertanya pada mereka semua, kenapa antum tidak amanah dengan kelompok mentor antum? Bukankah dengan begitu antum telah menghalangi seseorang yang mungkin bisa mendapatkan hidayah dari acara mentoring ini? Bagaimana jika dulu, antum juga mendapatkan mentor yang seperti diri antum sekarang? Bukankah antum tidak bisa menjadi ikhwah pergerakan sekarang?
Tapi yang membuatku tak habis pikir, mereka berdalih karena amanah mereka yang banyak ditempat lain. Aktivis kampus, aktivis masjid, aktivis BEM, dan lainnya. Salah seorang ketua alumuni pernah berkata saat kutanyaakan kenapa mereka yang sudah punya banyak amanah harus diberikan amanah lagi? Dia hanya menjawab bahwa orang yang banyak amanah untuk bisa menjalankan amanah itu maka harus diberi tambahan amanah. Jawabannya membuatku semakin bingung.
Teringatlah aku akan dulu saat aku mendapat amanah menjadi seorang mentor. Aku masih ingat, bahwa aku bukanlah orang yang masuk kriteria sebagai mentor menurut kacamata mantan ketua alumniku. Dia cenderung melihat seseorang dari sisi luarnya saja. Yang "kelihatan ikhwan" banget itulah yang dia pilih. Karena aku adalah ikhwan yang agak-agak "melenceng" sedikit maka aku bukanlah pilihannya. Aku adalah orang yang cenderung modern. Aku yang selalu mengusulkan agar acara-acara di Rohis tidaklah yang kolot tetapi harus yang bisa dinikmati orang banyak. Tetapi pada saat tidak ada pilihan lagi, ketua itu memberikanku amanah sebagai mentor dengan rasa terpaksa dan kelompok yang diberikan adalah kelompok "butuh perhatian lebih".
Aku menikmati setiap detik saat aku menjadi mentor. Aku begitu ingin sangat perhatian terhadap mentee-menteeku. Saat mereka membutuhkan sesuatu, kalau kubisa pasti aku akan memenuhinya. Aku rela merogoh kocek lebih dalam untuk membelikan air minum satu karton untuk para menteeku agar mereka tidak perlu antri mengambil air minum di gallon. Aku mencarikan mereka air panas saat mereka ingin memakan mie seduh. Aku menemani mereka mencari sandal yang ketukar dengan peserta lain. Aku menikmati peran itu. Hingga mereka pun tak segan untuk bercerita tentang diri mereka kepadaku. Aku juga sering menulis pesan-pesan singkat di buku catatan materi mereka. Kubuat kata-kata yang lebih akrab agar mereka percaya padaku. Sesaat sebelum pulang dari acara SWARA ini, kami berjanjian untuk buka puasa bersama sekaligus meneruskan mentoring ini. Dan setelah semua usaha yang kulakukan ini, akhirnya mentoring ii tetap bisa kupertahankan berjalan rutin seminggu sekali. Bahkan beberapa anak yang mentornya tidak jalan segera kuajak bergabung dengan kelompokku ini. Hingga akhirnya kelompokkulah satu-satunya yang berjalan di bagian ikhwan.
Rasa gembira segera memancar dari diiriku saat kulihat bahwa mentor-mentorku bukanlah murni anak Rohis. Mereka ada yang dari ekskur bola, basket, PMR, dan kesenian. Dan dengan kesadaran mereka sendiri, maka mereka memutuskan untuk berpindah ekskur ke ekskur Rohis. Dan Rohis pun menemukan kembali calon-calon generasi berikutnya. Memang dalam perjalanan tarbiyah mereka ada beberapa anak yang akhirnya harus mengundurkan diri dari lingkaran kecil ini. Tapi banyak juga yang akhirnya dengan penuh kesabaran bisa mengubah jalan hidup mereka 180 derajat. Dari mereka yang tidak terbiasa sholat lima waktu sampai mereka akhirnya melaksanakan sholat lima waktu dengan sholat-sholat sunnah sebagai tambahan. Hal-hal yang terjadi pada mentee-menteeku hanya bisa kupanjatkan syukur kepada Allah SWT. Dan hal ini terus berjalan hingga beberapa tahun kedepan. Aku selalu dijadikan mentor bagi anak-anak yang "butuh perhatian lebih" dan selalu kubuktikan bahwa tidak peduli siapapun mereka aku selalu mencoba membuat tertarik dengan Rohis dan dengan Islam. Dan sebaliknya teman-teman yang diamanahkan memegang kelompok unggulan selalu berakhir dengan bubarnya kelompok itu dan mereka yang diunggulkan berubah dan sama sekali menghilang dari Rohis. Aku tetap tidak mau berbangga diri. Dan rasanya memang tak pantas aku berbanga diri. Siapakah aku hingga patut berbangga diri. Yang kurasakan semua ini hanyalah memang jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah. Yang menghantarkan hidayah adalah Allah an mungkin aku hanyalah perantaranya saja. Aku hanya bisa berbagi pengalaman dan tips kepada teman-temanku yang lain.
Lalu sebuah teguran keras datang kepadaku melalui Pembina Rohis baru yang memang aku kurang begitu cocok dengan karakternya. Dia bilang kepadaku bahwa aku terlalu banyak memegang amanah hingga akhirnya semuanya keteteran. AKu dianggap mau merebut semua binaan yang ada di Rohis dan tidak mau membagi-bagikan kepada yang lain. Dan sumber yang dikatakan oleh Pembina Rohis itu adalah dari mantan ketua Alumniku yangh dulu. Tentu saja aku tertohok sekali dengan pernyataan itu. Aku masih merasakan betapa sakitnya kakiku yang lecet saat aku terburu-buru menempuh perjalanan kereta Lenteng Agung-Jakarta hanya untuk akhirnya menemui mentee-menteeku sudah tidak ada di sekolah. Bahkan beberapa kali kukorbankan waktu kuliahku hanya untuk tetap bisa mentoring. Dan semua hal itu dianggap merebut kekuasaan atas semua mentor di Rohis sekolahku.
Aku pun langsung menjelaskan bahwa mentorku yang sekarang adalah amanah yang telah kujalankan dari pesantren kilat diadakan dan semua alumni mendapat amanah itu. Lalu salahkah bila amanah yang ada padaku tetap berjalan sehingga banyak mentee-mentee dari kelompok lain berpindah ke dalam lingkaranku? Bukankah menurutku yang lebih salah adalah mereka yang sampai sekarang melepas begitu saja kelompok binaan mereka? Aku lalu mencoba untuk mengkonfirmasi apa yang dikatakan oleh mantan ketua Rohisku itu.
Ironisnya, perkataan yang dilontarkan oleh Pembina Rohis itu benar-benar telah melumpuhkan semangatku untuk terus membina. Mulai tahun itu juga aku pun memutuskan untuk tidak membina lagi. Memang dalam acara pesantren kilat selanjutnya aku masih memegang amanah sebagai mentor tetapi hasrat untuk terus melanjutkan mentoring itu tidak ada lagi dalam diriku. Dan selepas acara itu aku pun hanya bisa "mengikuti" rekan-rekan alumni yang lain. Padahal di mentoringku kali ini ada salah satu anak Ustadz DPP PKS. Tapi untuk mengirim sms aku masih tetap berjalan. Dan sebagai akibatnya hingga sekarang mentoring kelas X walaupun sudah terbentuk tapi tidak berjalan dengan baik dan intensif. Aku walaupun ingin tetapi segera mematikan hasrat untuk membina itu.
Dan Danu mengingatkan kembali manah itu lagi. Mengingatkan akan segala hal yang telah kulakukan dalam rangka dakwah di sekolah. Mengingatkan akan amanah membina yang begitu banyak disia-siakan. Beberapa teman alumi yang tidak aktif di Rohis meminta padaku agar mereka diberikan binaan, tetapi saat kuberikan, info yang kudapati binaan itu tidak berjalan. Alasan yang kudapati karena waktu mereka yang sangat padat (hallo, seberapa padat waktumu???). Setiap Ramadhan menjelang, pada saat acara SWARA akan dilaksanakan, para alumni pasti merapat kembali ke Rohis. Mulai dari mereka yang tidak aktif sampai yang tidak pernah nongol datang ke Rohis. Dan amanah pun diberikan kepada mereka untuk memegang mentor. Selepas Ramadhan mereka menghilang kembal dengan binaan dan amanah yang ditinggalkan. Padahal setahuku, membina adalah salah satu perangkat tarbiyah seorang ikhwah. Dulu kudapatkan cerita, bahwa seorang ikhwan tidak diperkenankan menikah sebelum mereka bisa memegang kelompok tarbiyah minimal 5 kelompok. Tetapi sekarang? Dan kuingat kembali dari 12 teman tarbiyahku, yang kutahu hanya 3 yang mempunyai binaan. Lalu yang lain? Waktu terlalu padat.
agar kami tidak menjadi orang yang kau timpakan siksa karena amanah yang tidak kami jalani denga baik.
Suatu hari dia bertanya kepada para murid-muridnya :
" Apakah sesuatu yang paling berat di dunia ini?"
Murid-muridnya menjawab :
" Besi,"
" Baja,"
" Batu besar," dan yang lainnya.
Sang Imam hanya tersenyum. Lalu berkata, " Ya , apa yang kau sebutkan benar semua,".
Murid-muridnya terdiam.
" Tetapi tahukah kalian apa yang lebih besar dari itu semua?" tanya Imam Ghazali lagi dengan bijak.
Semuanya muridnya menggeleng.
" Sesungguhnya memegang amanah adalah lebih berat dari itu semua," ujar sang Imam.
Sungguh, amanah itu memang berat dan perlu pengorbanan untuk bisa menjaga dan menunaikannya.***(yas)
at 15.50 pm
Salam kangen untuk semua menteeku
Terutama Akmal, Danu, Selamet dan Yani
Semoga Allah selalu melindungi kalian...
Wednesday, February 11, 2009
Tuesday, February 10, 2009
BILA KUKEMBALI KE YOGJA...
• Tempat kostku yang dulu di Jl. Ireda no. 143 Yogjakarta. Tepatnya di belakang Purawisata dan tak jauh dari situ ada Kali Code. Aku ingin tahu bagaimana keadaan tempat kostku itu. Apakah Mas Kokok dan istrinya masih menjaga tempat itu? Yang pasti aku kangen sekali dengan tempat kostku itu. Walaupun jauh dari UGM tapi kosku itu tempat yang sangat nyaman dan tenang serta murah.
• Tak jauh dari tempat kostku, aku ingin melihat warung tempat dulu aku sering membeli kacang goreng, kerupuk, atau makanan kecil. Disini aku kenal dengan si Mbak-e yang temannya Mas Gigon (teman satu kostku). Aku juga kenal dengan si Ibu yang juga baik dan ramah.
• Sekitar beberapa rumah dari warung itu, aku ingin sekali jajan dan menemui Ibu penjaga warung seperti yang kisahnya kuceritakan dalam artikel "MY HANDS". Aku tak tahu juga apakah rumah itu masih berdiri tegak atau tidak. Tapi aku ingin sekali menemui Ibu itu dan bernostalgia sejenak.
• Angkringan di depan jalan raya yang juga tak jauh dari kost-anku. Disinilah aku akhirnya mulai mengenal yang namanya angkringan dan nasi kucing. Makan disini memang murah. Seorang Ibu muda yang menjual makanan dengan la kadarnya. Warungnya itu hanya sebuah meja dan diatasnya ditaruh berbagai makanan khas angkringan. Lokasinya tepat di sebuah toko yang sudah tutup. Ibu itu juga sangat baik padaku. Aku biasa makan nasi kucing seharga Rp. 500 dan teh manis juga Rp. 500. Kadang-kadang aku menambahkan nasi kucingku itu dengan tempe dan tahu yang seharga Rp. 100. Aku sering terenyuh bila makan disini. Oiya, aku juga satu-satunya pemuda yang suka makan disini.
• Wartel tempatku menelepon. Letaknya juga tak jauh dari tempat kostku. Aku sering meluangkan waktu untuk menelepon teman-teman dan para mentee-mentee ku di sini. Kadang aku juga menelepon keluarga dan Murobbiku disini. Pastinya setelah pulang dari wartel ini aku pasti akau berlelehan air mata (^_^). Yang kuingat, biasanya aku menelepon di pagi hari sebelum jam 7 atau jam 9 ke atas karena biaya pulsa pada waktu itu masih murah. Oiya, pada zaman itu yang namanya Handphone belumlah semarak seperti sekarang. Walaupun aku punya handphone juga waktu itu (inget deh, beli perdananya dulu tuh Rp. 150.000!!), tapi dulu pulsa terkecil adalah Rp. 50.000! Dan temen-temenku juga masih jarang yang punya handphone.
• Kalau kelima tempat di atas letaknya ada di sebelah kiri kostku, maka di sebelah kanan dari kostku ada Ibu penjual gorengan yang sering kudatangi. Ibu itu berjualan gorengan mulai dari maghrib sampai malam. Pembelinya ramai sekali. Waktu itu harganya masih murah, Rp. 200. Gorengannya enak sekali. Aku sering membeli tahu isinya, tempe gembus, dan singkongnya. Khusus untuk singkong, beli Rp. 1000,- bisa serauk. Aku beli singkong biasanya kalau uang jatah mengemilku tinggal pas-pasan.
• Masjid Pujokusuman, tempat ku sholat berjama'ah adalah tempat yang ingin kukunjungi selanjutnya. Tempat ini juga tak jauh dari kostku. Masjidnya berlantai 2, lantai bawah untuk aula dan TPA sedangkan untuk sholat berjama'ah berada di atas. Aku pastinya senang sekali sholat disini karena semua bapak-bapaknya ramah-ramah. Di Masjid ini aku juga pernah bertemu dengan orang yang tiba-tiba memuji-mujiku (kuceritakan nanti di tulisanku yang lain).
• Warung nasi Bu Sari (aku kangen sekaliii...). Disini aku biasa membeli makan siangku. Tempatnya di depan sebuah SD Negeri. Jadi pas aku turun dari bis langsung tepat di warung nasinya Bu Sari. Jarak dari kosku tinggal lurus saja (kira-kira 200m) dari tempat Bu sari. Aku paling senang dengan kikil buatan Bu Sari. Dan tak lupa es teh manisnya. Nasi, dicampur dengan kikil dan telur balado seharga Rp. 2.500 serta dengan es tehnya yang Rp. 500,-. Aku ingin sekali makan disini lagi. Bu Sari sudah hafal dengan menu kesukaanku.
• Di Pasar Bringharjo, ada sebuah swalayan yang menjual berbagai macam peralatan dapur yang terbuat dari plastik. Aku lupa nama tempatnya. Yang kuingat aku senang sekali berada disini untuk membeli piring, gelas,teko, dan lainnya yang terbuat dari plastik. harganya pun lumyan murah.
• Shopping, tempat penjualan berbagai macam buku. Mungkin ini yang namanya Kwitang ala Yogja. Buku disini harganya miring dari harga aslinya. Aku membeli buku Harry Potter II disini (yang kuingat harganya Rp. 25.000,-). Aku juga membeli buku Teen Love on Relationship (harganya Rp. 20.000,-) dan buku Kreatif karangan Jordan Sayan (seharga Rp. 40.000,). Kdang aku juga membeli majalah-majalah bekas disini. Buku pegangan dari dosen pun aku beli disini. Sebagai pencinta buku, aku pasti ingin kembali lagi kesini.
• Tukang Rujak es di depan Mirota Kampus. Aku gemar sekali beli es rujak di sini. Penjualnya Ibu-ibu. Es rujak adalah rujak berisi buah-buahan tetapi ada kuahnya yang dingin. Dulu yang kuingat harganya per porsi Rp. 2000,-. Kenyang sekali untuk dimakan sendiri. Rujak memang salah satu makanan favoritku.
• Mirota Kampus, tempat yang ingin kukunjungi selanjutnya. Tempatnya tak jauh dari bundaran UGM. Mungkin ini adalah swalayan yang paling dekat dengan kampus. Aku paling suka ke bagian alat-alat tulisnya. Dulu disini aku menemukan buku diary ku yang tebal yang kubeli seharga Rp. 15.000,-. Kadang aku juga membeli sampul buku dan yang lainnya disini. Kusarankan untuk tidak kesini sehabis liburan lebaran, karena penuuhhh sekali!
• KOPMA UGM,tempat belanja murah dan khas. Disinilah aku belanja bulanan setelah orangtuaku mentransfer uang bulanan. Swalayannya ada di lantai 1 sedangkan di lantai 2 dijadikan tempat untuk menjual berbagai macam produk stationary khas UGM. Aku pernah membeli payung berlogo UGM, jam weker bergambar logo UGM, alat-lat tulis berlogo UGM, buku berlogo UGM, buku tulis Islami (sepertinya hanya kutemukan disini) dan yang lain. Terakhir yang kutahu swalayannya sudah berubah lebih luas.
• M-Web di UPT Perpustakaan UGM, tempat aku ngenet sepulang kuliah. Tempatnya ada di lantai dasar UPT perpustakaan. Harganya memang standar, tapi sinilah aku mulai mengenal chatting, dan lain sebagainya. Kadang-kadang tidak terasa samapi jam 5 sore aku berada disini. Kalau tidak kuingat di Yogja bis umum berhenti beroperasi pada pukul 6 sore, mungkin aku bisa sampai malam di M-Web. Cozy place to netting!
• Abang tukang es jamu yang mangkal di depan Graha Sabha. Aku punya langganan sendiri disini. Aku tak tahu namanya tapi yang kuingat orangnya berperawakan tinggi, tidak gemuk, berambut keriting dan berkumis. Setiap pulang kuliah kalau lagi mumet aku pasti mampir disini. Menghilangkan stress dengan segelas es asem yang jadi favoritku. Tadinya aku tidak berani mencoba beras kencur dan kunir, tapi setelah mencobanya aku sangat menikmatinya. Kalau memang uangku sedang berlebih aku juga menyempatkan makan bakwan malang yang juga ada di samping es jamu. Dijamin minum es jamu disini bakalan segar sekali.
• Rental komputer di Pogung, tempat aku mengerjakan tugas kuliah. Mbak-mbak penjaganya yang ramah-ramah dan sangat membantu. Yang kuingat 1 jam rental disini Rp. 1000,- sedangkan ngeprint 1 lembarnya Rp. 300,-. Sangat cocok sekali dengan kantung mahasiswa sepertiku.
• Toko buku Islam (aku lupa namanya) tempat aku membeli majalah Annida, Tarbawi dan Karima (sekarang kayaknya sudah nggak terbit lagi deh). Mungkin bisa disebut juga Itishom-nya Yogja. Walaupun tidak seluas Yogja tapi sangat nyaman tempatnya. Kalau berada disini aku bisa bertemu dengan saudara-saudara sesama ikhwah.
• Dan tempat yang paling ingin kukunjungi adalah FIB UGM tempatku dulu menuntut ilmu. Aku ingin sekali bernostalgia di tempat ini. Mengingat aku mondar-mandir pindah dari satu gedung ke gedung yang lain untuk mengikuti perkuliahan. Atau mengingat saat aku menjadi hobi membaca buku Danielle Steel setelah meminjam di perpustakaan ini. Atau yang paling aku kangeni adalah Masjid Tarbiyah yang sekaligus sekretariat KMIB (Keluarga Muslim Ilmu Budaya). Disinilah aku bertemu dengan kakak-kakak dan teman-teman yang begitu berjasa bagiku. Bertemu dengan Kak Fuad, Mbak Dewi, Mas Rofi, Kak Ato, Mbak Ani, Kak Genry dll. Mungkin disini aku akan menitikkan air mata karena dulu saat aku pergi aku tak sempat berpamitan dengan semuanya. Terutama dengan Kak Fuad, sang ketua KMIB yang begitu berjasa bagiku. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya.
Ya Allah,...kabulkanlah pintaku ini suatu saat nanti....***(yas)
CATATAN DI PENGHUJUNG JANUARI
Nah sekarang Januari yang sudah terlewat ingin kuingat sekilas tentang apa yang sudah kulakukan. Mungkin dengan hasil muhasabah ini aku bisa memperbaikinya di bulan Februari nanti.
Pada bulan ini diwarnai dengan tragedi berdarah di negeri Islam tercinta Palestina. Ya, kota Gaza digempur habis-habisan oleh si biadab Israel. Aksi pun dilakukan dalam rangka mengutuk kebiadaban itu. Selain menyumbangkan beberapa rupiah yang kupunya, aku juga menyetel film untuk murid-muridku yang ditanggapi dengan antusias. Mereka yang awam dengan Islam pun menjadi pembenci negara Israel. Bahkan beberapa anak ada yang menangis saat kuputarkan film yang berjudul "ANAK-ANAK PERINDU SYAHID". Selalu ingin kuyakini pada warga Palestina bahwa saudara-saudara mereka di Indonesia pun peduli pada mereka.
Bicara masalah mengajar, pada minggu ketiga ini secara resmi aku sudah tidak mengajar lagi di SMAN 43. Walaupun bidang kurikulum mengatakan hanya untuk sementara saja sampai dengan bulan April, tapi melihat pelajaran Pembinaan Rohani yang sudah ditiadakan di kelas X dan XI bagiku itu menandakan bahwa angkatan yang kuajar sekarang adalah angkatan terakhir yang kuajar. Beberapa anak mengirimkan sms padaku yang protes akan penghapusan pelajaranku. Beberapa yang lain bahkan mengatakan bahwa seharusnya bukan pelajaranku yang dihapus tapi pelajaran lain. Tapi bagiku berhenti mengajar di sini memang dari dulu tinggal mengitung hari saja kapan berakhirnya karena aku pun secara tidak resmi menjadi pengajar disini. Bermula dari perbantuan sampai akhirnya tak terasa 4 tahun sudah aku mengajar. Sedihkan aku? Jujur aku mengatakan memang sedih. Bukan sedih karena tidak mengajar lagi tapi sedih berpisah dengan murid-murid ku dan tidak bisa membimbing mereka lagi. Beberapa muridku mengatakan bahwa karena pelajaranku lah yang akhirnya menyebabkan terjadi perbedaan drastis mengenai akhlak antara murid kelas 3 dibanding dengan murid kelas 1 dan 2. Kulihat memang seperti itu. Tapi aku tidak merasa bahwa karena pelajaranku yang membuat mereka berubah. Kulihat murid-murid di bawah kelas tiga memang berperilaku cenderung kurang sopan dan berakhlak kurang baik. Puncaknya saat akhir bulan kemarin sekolah terpaksa mengeluarkan 6 orang murid yang terlibat dalam pembuatan video tidak senonoh. Bagiku pengalaman mengajar selama 4 tahun disini (plus digaji pula ^__^) adalah suatu pengalaman berharga yang tidak bisa kulupakan. Dari sinilah beberapa murid dekat dan berkawan denganku. Bila aku berniat, mungkin bekal ini cukup untuk menjadi pengajar sejati nantinya.
Di bulan ini pula, tepatnya tanggal 24 dan 25 kemarin aku melihat sisi lain dari mantan guru-guru sekolahku saat acara perpisahan kepala sekolah lama Pak Luthfi (We miss you) di villa Ratu Sukabumi. Aku yang dulu adalah seorang murid sekarang menjelma menjadi bagian dari mereka. Bernyanyi bersama, tidur bersama, makan bersama, bergembira ria bersama, melepas penat mengajar. Aku lumayan menikmatinya. Aku ikut yoga bersama Bu Sri Yuniati (guru favoritku), aku berbincang dengan Pak Sriyanto yang begitu bijak, aku bermain tenis meja dan dikalahkan oleh pasangan Pak Sriyanto dan Bu Stien (aku berpasangan dengan Aziz), dan mungkin yang akhirnya tidak membuatku terlalu BT, aku menemukan teman yang bernama Hamzah, anaknya Pak Yusuf. Dia anak kecil berumur sekitar 7 tahun. Ya aku disana hanya bermain bersama dia saja. Tapi aku jadi semakin akrab dengan Hamzah. Intinya aku senang sekali ikut acara itu.
Konflik di bulan ini juga masih menghampiriku. Aku memboikot acara anak-anak Rohis angkatan 2008. Mereka ingin mengadakan acara bedah kampus. Aku sih sebenarnya mendukung-dukung saja, tapi aku meminta mereka untuk mengaji terlebih dahulu dan harus aktif di Rohis. Atau paling tidak jika mereka ingin merepotkan anak-anak Rohis mereka harus membantu anak-anak Rohis terlebih dahulu. Itu saja pintaku. Tapi mereka menganggapku ingin membubarkan acara mereka. Padahal sebenarnya tidak. Aku sudah membicarakannya baik-baik tapi sayangnya tidak ada itikad baik dari mereka. Ya sudahlah, aku tidak ingin menggubrisnya lagi. Oiya, satu lagi, aku sangat tidak setuju saat mereka ingin mengotak-kotakan antara anak IPA dan IPS. Dan underestimate mereka terhadap kampus-kampus kurang terkenal. Aku tidak suka diskriminasi.
Berikutnya konflik datang dari orang lama. Sebenarnya aku sudah lelah dengan dia jadi aku tidak terlalu menanggapinya. Dia ingin mengadakan sebuah acara besar di Rohis 43. Tapi bagiku dia tidak melibatkan aku sama sekali. Jadi daripada aku terlibat konflik lagi dengan dia, aku segera putuskan bahwa acara itu lebih baik tidak diadakan di 43. Kemudian beberapa waktu kemudian aku bertemu dengan salah seorang temanku yang menanyakan tentang acara yang sama. Dia bilang apakah aku diundang pada pertemuan DPC yang kujawab dengan gelengan. Dia pun segera menceritakan kronologis acara yang akan diadakan. Aku pun menawarkan jika memang acara itu ingin diadakan, aku meminta untuk menyerahkan kepanitian kepada aku dan teman-teman alumni yang lain sedangkan dana dari DPC. Dia pun tampaknya setuju dan ingin membicarakan hal itu terlebih dahulu. Tapi sayangnya sampai sekarang aku belum mendapatkan konfirmasi apapun.
Di bulan ini juga aku dan teman-teman di DPRa Mentas mengadakan acara baksos dan pelayanan kesehatan gratis. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik dan dilakukan penuh dengan antusias. Sampai sekarang acara itu sudah terselenggara sebanyak 3 kali. Tapi sayangnya saat yang terakhir yang bertempat di lingkunganku, aku tidak bisa membantu pelaksanaannya karena aku sedang mengadakan Rihlah bersama mentee-mentee ku di Rohis 43.
Terakhir di bulan ini aku mengadakan acara Rihlah ke Megamendung bersama dengan mentee-menteeku. Alhamdulillah acara berjalan dengan lancar, walaupun kedodoran kembali dari sisi acara. Tapi mudah-mudahan hati-hati kami semakin dipersatukan dalam ikatan ukhuwah Islamiyah. Amiin.
Ya Allah, terima kasih atas segala goresan pena kehidupan dan cerita yang Kau tulis di dalam hidup dan hari-hariku. Semoga kebaikan yang kulakukan bisa menjadi pemberat amal kebaikanku di hari akhir kelak. Dan semoga catatan keburukan yang kugoreskan tidak akan kuulangi lagi di bulan Februari ini. Bantu hamba Ya Allah, untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Untuk meniti setiap langkah yang telah Kau goreskan dalam diary kehidupan hamba. Bantu hamba untuk menjadi orang yang ikhlas, tulus, dan selalu mampu memaafkan orang lain. Sekarang aku hanya bisa menangis dan mengetuk maaf di pintu-Mu. Kapankah Kau memperbolehkan aku masuk dan mengizinkan aku untuk memeluk-Mu dengan erat? Walaupun hanya sesaat... Ya Rabbana, Aku rindu bertemu...***(yas)
My work room, February 4, 2009
at 01.20 am
Usai menahan kantuk
MY HANDS
Tangan saya masih seperti biasanya. Alhamdulillah masih dalam keadaan normal seperti sejak dilahirkan. Tapi judul diatas saya ambil dari sebuah lagu milik Jewell Kilcher. Menceritakan tentang sebuah tangan yang dimiliki oleh seorang tuan yang berbeda-beda keadaannya. Tangan, yang mungkin salah satu pelengkap tubuh sehingga tubuh akan dibilang sempurna jika mempunyai kelengkapan fisik yang lengkap. Lalu fungsi tangan apa lagi? Mungkin banyak yang bisa dituliskan disini. Dan kita pun tidak akan kesulitan untuk mengisi jawaban dari sebuah fungsi tangan. Tapi apa yang selama ini telah kita perbuat dengan tangan kita? Sepasang tangan yang kelak Allah akan menjadikannya saksi bagi diri kita di hari kiamat kelak.
Tangan bisa melakukan apa saja atas perintah tuannya. Sepasang tangan bisa selalu berada dalam ketaatan bila si empunya tangan itu juga merupakan orang yang taat kepada Allah. Dia bisa digunakan untuk beramal, membantu orang yang kesusahan, membaca Al-Qur'an, menulis dalam rangka dakwah dan kebaikan, dan lain sebagainya. Bila sang empunya terus membiasakannya berada dalam kebaikan maka untuk melakukan hal-hal yang buruk rasanya akan berat sekali. Dan jika suatu saat sang empunya tangan itu meninggal dunia, maka dia telah melaksanakan tugasnya di dunia dengan kebajikan dan kebaikan. Hingga di hari kiamat, pada saat hisab di depan Allah SWT, ketika Allah mengunci seluruh anggota tubuh kita dan kita tidak bisa bersuara-suara lagi maka tinggalah Allah mendengar kesaksian dari seluruh anggota tubuh. Sungguh senangnya jikala pada saat itu seluruh anggota tubuh kita memberikan kesaksian yang baik dan membela kita. Pada saat itulah kita melihat hasil dari seluruh perbuatan yang kita lakukan di dunia ini. Dan dengan sendirinya jika tidak ada satupun pihak yang merasa keberatan dengan keberadaan kita, maka Insya Allah shiratal mustaqim akan mudah kita lalui sehingga surga firdaus pun menjadi tempat tinggal kita yang baru.
Tetapi alangkah meruginya kita, jika selama kita hidup sepasang tanganyang kita miliki hanya digunakan dalam rangka kemaksiatan kepada Allah SWT. Digunakan untuk menyakiti orang lain, unruk mencuri, memegang hal yang tidak halal baginya, melakukan perbuatan nista dan lainnya (rasanya menulis perbuatan buruk yang berhubungan dengan tangan begitu mudah dibandingkan dengan menulis perbuatan baik yang dilakukan oleh tangan). Lalu pada saat kita meninggal dunia semua hal itupun menjadi terlihat jelas. Semua perbuatan buruk kita menjadi "tabungan" yang justru akan merugikan diri kita sendiri. Pada saat itulah tangan kita yang merupakan salah satu tubuh yang akan memberikan kesaksian menceritakan tentang hal-hal buruk yang kita lakukan dengan mediasi dirinya. Sungguh pada saat itu tidak ada lagi yang bisa meringankan dosa kita bila seluruh tubuh kita memberikan kesaksian yang memberatkan. Berharap Rasulullah SAW memberikan syafaat pada diri kita. Tapi rasanya akan malu sekali mendapatkan syafaat dari Rosulullah SAW mengingat diri kita yang jarang sekali bershalawat untuknya. Yang jarang juga menjalankan sunnahnya. Yang mungkin juga tidak hafal akan cerita kehidupannya. Pantaskah syafaat itu didapatkan? Tapi Rosulullah memang manusia yang paling penyayang di muka bumi ini, sehingga siapapun dia asalkan masih dalam bagian umatnya akan mendapatkan syafaat darinya. Jangankan memberikan syafaat, sebelum kematiannya dia sempat berkata pada Izrail kalau dirinya bersedia menanggung seluruh sakratul maut yang akan dijalani umatnya. Subhanallah...(Rindu sekali bertemu denganmu Ya Rasul...).
Lalu kalau ditanya pada diri sendiri, apakah kebaikan yang telah saya perbuat dengan mediasi tangan saya ini? Mungkin saya akan teringat sebuah cerita yang telah kugoreskan di sebuah kota bernama Yogjakarta. Pada saat aku menjadi salah satu penghuni kota itu dalam rangka menuntut ilmu di UGM. Tak jauh dari rumah kostku ada sebuah warung yang tidak terurus. Rumah yang dijadikan warung itu hanyalah berpagarkan bambu dan kayu. Warung itu bukan warung kelontong seperti yang lainnya. Warung itu menjajakan barang sekadarnya. Yang kutahu, warung itu menjual makanan buatan tangan yang mungkin terlihat tidak menarik. Hanya sebuah makanan terigu yang direbus dan di dalamnya ada sepotong pisang kecil. Saya yang sebenarnya tidak tertarik untuk membeli jajanan itu akhirnya merasa perlu membeli makanan itu. Saya rela merogoh kantong saya hanya demi membeli makanan yang mungkin tidak terlalu penting untuk saya. Tapi ada satu hal yang saya merasa perlu untuk membelinya. Penjualnya itu hanyalah seorang janda (yang kutahui belakangan) dan tinggal seorang diri. Ibu itu memang tidak tua, saya taksir umurnya sekitar menjelang empat puluhan. Guratan kerja keras terlihat di wajahnya yang berkulit sawo matang. Saya sangat senang sekali saat melihat senyum si Ibu merekah pada saat saya membeli makanannya. Mungkin dia tidak menyangka bahwa saya mau membeli makanan di warungnya atau mungkin juga saya adalah pemuda satu-satunya yang mau jajan di warungnya itu. Yang pasti saya senang sekali dapat membantu ibu itu, walaupun saya yakin tidak seberapa. Tangan ini yang mengeluarkan uang dan membawa makanan yang dijajakan Ibu itu suatu saat nanti saya harapkan bisa menjadi saksi di hadapan Allah kelak.
Kebaikan yang lainnya adalah kisah tentang seorang Ibu tua renta yang saya temui di bis 116 jurusan Blok M-Tanjung Priok. Pada saat itu saya sedang ingin pergi membeli buku di kawasan kwitang, Senen. Pada saat bis melewati jalan Tambak, Manggarai, seorang Ibu tua renta naik ke bis yang saya tumpangi. Ibu itu mengenakan kain batik dan baju kebaya serta kerudung ibu-ibu pengajian. Ibu tua itu tidak membawa apa-apa selain bungkusan yang ada dalam plastik yang saya yakini bungkusan itu adalah baju dia yang lainnya. Lalu saat sang kondektur menagih bayaran pada penumpang, si Ibu tua renta yang duduk di samping saya terlihat mengeluarkan dompet putihnya yang tipis. Dengan segera saya mengeluarkan uang dari saku dan memberikan kepada kondektur itu. Saya memberikan isyarat bahwa uang yang kuberikan untuk bayaran dua orang, saya dan ibu tua renta itu. Ibu itu lalu menoleh ke arah saya dengan senyum tua di wajahnya. Bibirnya mengucapkan terima kasih yang saya balas dengan senyuman. Senang sekali melihat wajah tua itu tersenyum.
Tapi Ya Allah... sungguh rasanya dua kebaikan lewat tangan yang saya lakukan itu belumlah seberapa dibandingkan banyaknya kemaksiatan yang telah kulakuan lewat tangan saya ini. Mungkin kebaikan saya hanya dua itu saja, sedangkan keburukan yang telah kulakukan mungkin lebih dari dua bahkan bisa jadi berkali-kali lipat dari dua. Sungguh rasanya saya takut sekali bila ternyata kesaksian tangan yang menemani saya selama ini adalah memberatkan diriku dihadapan-Mu kelak. Sungguh saya tak tahu akan berbuat apa bila itu terjadi. Untuk itu Ya Allah, bantulah hamba-Mu ini untuk menggunakan tangan saya ini dalam rangka ketaatan kepada-Mu. Sungguh hamba adalah makhluk yang dhoif, yang mudah sekali terjerumus dalam jurang kemaksiatan, untuk itu Ya Allah bantulah hamba-Mu ini bilamana salah melangkah dan berikanlah kasih sayang-Mu bilamana hamba bertaubat dan mengetuk di pintu-Mu. Amiiinnn Ya Rabbal 'Alamin...***(yas)
My work room, February 6, 2009
at 00.05 am
ditemani rintik hujan
yang menentramkan jiwa