Judul di atas adalah sebuah pertanyaan yang aku ambil dari guru ngaji pekanan saya pada waktu acara pekanan yang berlangsung di rumah sederhana miliknya. Bukan, guru ngaji aku bukan menanyakan lembaran evaluasi ibadah mingguan yang sering aku lupa untuk mengisinya, tetapi saat itu guru ngajiku menanyakan hal itu sesuai dengan usia tarbiyah yang sudah dilalui para binaannya. Sejalan usia tarbiyah yang semakin memanjang dan perilaku kita yang semakin berubah dari waktu ke waktu, adakah nilai-nilai Al-Qur'an yang tertanam pada jiwa kita? Mungkin saja semakin banyak seseorang itu khatam Al-Qur'an maka semakin baik pula kualitas dirinya (seharusnya). Atau mungkin juga guru ngaji saya sedang menyindir aku dan teman-temanku yang jarang mengkhatamkan Al-Qur'an? Kalau pertanyaan itu secara resmi ditanyakan ke aku pribadi mungkin aku juga tidak tahu pastinya sudah berapa banyak aku khatam Al-Qur'an. Tapi satu yang pasti, setelah aku aktif di Rohani Islam SMAN 43 dulu minimal aku harus mengkhatamkan Al-Qur'an setahun 1 kali tepatnya khatam pada bulan Ramadhan.
Perkenalan aku sendiri dengan Al-Qur'an jauh terjadi saat aku masih kecil. Saat itu aku sering sekali pergi mengaji di sebuah Yayasan yang dimiliki oleh seorang Ustadzah bernama Rum. Jarak tempat itu dengan rumahku sekitar 100 meter. Setiap malam aku dan kawan-kawanku berangkat setiap habis maghrib saling sampar menyampar. Lalu sesampainya disana kami saling berebutan lekker (meja kecil terbuat dari kayu yang biasanya digunakan sebagai alas untuk menaruh Al-Qur'an) dan posisi tempat duduk yang strategis. Guru ngaji kami sendiri adalah remaja dari Yayasan itu yang kebanyakan adalah mahasiswa atau pekerja. Oiya, guru ngaji kami tidak ada yang perempuan, semuanya laki-laki kecuali pada waktu-waktu tertentu saja ada perempuannya, misalnya saat malam jum'at saat kami membaca Yasin beberapa guru wanita juga datang ke tempat kami.
Sebenarnya aku sangat tidak puas sekali saat guru mengajiku yang bernama Kak Ade (How I miss...) menaruhku di kelompok membaca Juz Amma (dulu rasanya buku Iqra belum sepopuler sekarang deh..). Aku harus membaca dari awal dan jika aku bagus dan tidak banyak mengulang serta menghabiskan Juz Amma maka aku bisa berpindah ke Al-Qur'an. Walaupun di rumah orang tuaku jarang mengajarkan aku mengaji tetapi aku merasa bahwa aku bisa sekali lebih jauh dari Juz Amma. Tapi Kak Ade tetap mengharuskan aku membetulkan bacaanku agar lebih bagus.
Pengajian ini ternyata hanya bertahan sampai aku kelas 5 SD saja atau kurang lebih 3 tahun. Lambat laun banyak teman-temanku yang jarang mengaji dan akhirnya keluar dari pengajian. Guru-guru kami pun juga lambat laun berkurang sejalan aktivitas mereka yang mungkin semakin padat. Setelah vakum tidak mengaji beberapa saat, orang tuaku menawarkan aku untuk masuk madrasah yang juga masih di bawah Yayasan milik Ustadzah Rum. Saat itu aku dimasukkan bersama dengan keponakanku yang masih kelas 2 SD. Aku dimasukkan di kelas 1 karena memang tempat dan pengajarnya yang terbatas. Aku masih ingat dengan Ustadzahku yang bernama Bu Supriyati (I miss u...), anak IKIP yang sangat baik dan sabar sekali. Aku senang belajar dengannya. Bacaan iqra kun pun yang bermula dari iqra 2 langsung melesat menjadi Iqra 4. Pelajaran Imla, fiqih dan akidah kuikuti dengan senang. Oiya, uniknya sekolah madrasahku adalah pengajarnya harus mengajar masing-masing 2 kelas. Satu kelas masing-masing dibagi dua baris. Kelasku yang kelas 1 kebetulan bersama dengan kelas 3 yang umur siswanya juga sama denganku. Sedangkan kelas 2 dan 4 belajar di lantai atas. Saat ustadzahku menawarkan aku untuk langsung pindah ke kelas 2, aku pun mencoba tawaran ustadzahku itu. Tetapi beberapa hari kemudian aku minta dipindahkan kembali ke kelas 1 karena aku merasa tidak cocok dengan gurunya. Dan di kelasku aku selalu mendapat peringkat pertama, secara aku khan udah kelas 5 SD...hehehe...
Ternyata usia belajarku di madrasah tak bertahan lama. Belum 1 tahun aku tidak bersekolah madrasah lagi karena muridnya yang semakin menghilang dan yang pasti rasa malasku yang harus bersekolah 2 kali. Dan selama itu pun aku tidak belajar mengaji unuk waktu yang cukup lama. Bahkan aku pun tak tahu tentang hukum tajwid. Baru setelah kelas 1 SMP di 67, aku berkenalan dengan Rohis. Aku ikut Rohis karena kebetulan kakak perempuanku yang ketiga yang saat itu sekolah di SMA 3 juga bergabung dengan Rohis dan memakai jilbab. Aku pun ikut kegiatan Rohis. Tapi aku paling malas sekali ikut acara BMAQ yang diadakan satu jam sebelum sholat Jum'at dimulai. Ya memang waktu itu aku belum mengerjakan sholat secara penuh, bahkan mungkin sering tidak sholat 5 waktu. Kebetulan pada saat SMP kelas 1 aku masuk siang, jadi semua siswa diwajibkan untuk ikut BMAQ yang diajarkan oleh kakak-kakak Rohis. Aku yang tidak pernah ikut akhirnya tak dapat kesempatan belajar tentang tajwid dan Al-Qur'an. Saat disuruh baca Al-Qur'an bergantian yang dibimbing oleh mentorku pada sebuah acara Pesantren kilat pun aku merasa tidak sanggup. Saat yang lain membaca satu halaman penuh, aku merasa tersiksa sekali walaupun hanya disuruh membaca 2 ayat. Sayangnya karena kesibukan kakak mentorku maka pengajian ini tidak berjalan. Padahal kuakui bahwa Rohis SMP ku lah yang mengajarkan aku untuk suka pada nasyid, tahu dunia ikhwan dan akhwat dan lainnya. Tapi sayang 3 tahun kemudian aku sama sekali tidak bersentuhan dengan Al-Qur'an sampai akhirnya aku masuk ke SMA.
Saat itu aku memutuskan untuk masuk SMA yang ada di samping SMP ku yaitu SMAN 43. Aku pun memutuskan untuk memilih ekskur Rohis sebagai salah satu bagian dari ekskurku selain PMR, Voli dan theater. Sekali lagi aku memilih ekskur Rohis karena itu ekskur ku di saat SMP dan terinspirasi dari kakakku. Aku baru tahu dikemudian hari kalau Rohis SMAN 43 adalah salah satu yang terbaik di Jakarta dan merupakan salah satu pelopor pergerakan dakwah sekolah. Saat masuk SMA aku memang bertekad untuk menjadi lebih baik lagi daripada di SMP dulu.
Tapi sayangnya, lagi-lagi aku hanya tercatat namanya saja sebagai anggota Rohis. Aku jarang sekali ikut kegiatan rutinnya yang waktu itu diselenggarakan setiap hari Sabtu sepulang sekolah dari jam 17.00 sampai 19.00 (sekolahku waktu itu khusus kelas 1 masuk siang hari). Aku selalu main kucing-kucingan dengan pengurusnya yang setiap bubar siswa menjaga di depan pintu gerbang sekolah untuk menarik anggota ekskur Rohis. Ekskur di sekolahku memang wajib karena kalau tidak ikut ekskur maka jangan harap bisa mengambil rapot. Aku jarang ikut Rohis karena aku terburu-buru ingin pulang ke rumah untuk menonton ASIA BAGUS. Waktu itu aku sangat menyukai acara yang dibawakan oleh Najib Ali dan Tomoko itu. Pun kegiatan BMAQ yang diadakan pada hari minggu pagi juga aku tidak ikuti. Rasanya aku masih trauma kalau harus membaca Al-Qur'an. Kehadiranku di BMAQ rasanya bisa dihitung dengan jari. Itu pun aku terpaksa hadir karena guru pembina Rohis yang juga guru Bahasa Indonesia mengancam tidak akan memberiku nilai bahasa Indonesia. Kebetulan itu pelajaran favoritku dan guru itu juga salah satu guru favoritku. Pada waktu acara pesantren kilat yang diadakan Rohis di puncak secara mengejutkan aku dimasukkan di kelompok favorit. Aku sama sekali tidak tertarik, terlebih saat acara mentoring, mentorku meminta setiap mentee nya untuk membaca satu lembar Al-Qur'an. Dan lagi-lagi aku yang terbodoh. Aku pun meminta keringanan untuk mebaca 1 atau 2 ayat saja, tapi mentorku menolak dan menyuruhku tetap membaca 1 lembar. Dan sampai kelas 1 SMA pun aku sama sekali tidak mengerti tentang tajwid dan makhrojul huruf.
Semuanya berubah saat cawu 3 di kelas 1. Guru Bahasa Indonesiaku yang bernama Bu Imas (terima kasih ibu) memanggilku dan bertanya kenapa aku tidak pernah ikut kegiatan Rohis di hari Minggu? Karena dia guru favoritku aku pun menjawab dengan jujur bahwa pada saat itu aku belum bangun tidur. Dia kemudian mempertanyakan apakah aku sholat subuh atau tidak (aduh malunya aku) yang kujawab dengan senyum. Dia pun memberi ultimatum bahwa aku harus ikut acara setiap hari minggu atau kalau tidak nilaiku akan dikurangi 5! Ya mau nggak mau aku akhirnya mulai rutin mengikuti kegiatan BMAQ.
Setelah aku menjadi pengurus Rohis (oiya, saat itu aku belum pernah khatam Al-Qur'an) aku dituntut untuk bisa membaca Al-Qur'an secara benar. Alhamdulillah akhirnya aku mulai lancar membaca Al-Qur'an walaupun tanpa tajwid dan makhrojul hurufnya. Alhamdulillah akhirnya menjelang kelas 3 yang kuingat aku berhasil menghabiskan Al-Qur'an alias khatam Al-Qur'an. Saat kelas 3, mentorku tidak melanjutkan kembali mentoring karena beliau sibuk dengan urusan pekerjaannya. Maka aku dioper ke rekannya yang bernama Bang Hakim. Di mentoring rutin ini aku pun semakin terlatih untuk membaca Al-Qur'an sebanyak satu halaman. Pada saat bersamaan aku dan teman-teman ngajiku memutuskan untuk ikut khursus tahsin pekanan di Masjid Bimantara Kebon Sirih. Saat itu pengajarku adalah Ustadz Furqon. Aku senang sekali dengan metode mengajarnya yang fasih. Memang aku adalah yang terbodoh di kelompok itu karena memang aku satu-satunya yang tidak mengerti tajwid. Bahkan untuk mengucapkan huruf KHO yang seperti mengeluarkan reak dalam latihan Makhrojul huruf, teman-temanku mentertawaiku karena aku tidak bisa. Seiring berjalannya waktu akupun semakin paham dengan tajwid dan makhrojul huruf. Aku ingat sekali aku mampu menghabiskan 1 juz Al-Qur'an saat tilawah sepulang sekolah yang kulakukan di masjid sekolah. Bagiku ini adalah prestasi baruku yang dulu sama sekali tidak pernah melakukan hal seperti ini. Lalu memasuki bulan Ramadhan di saat aku kelas 3, aku semakin cinta dengan Al-Qur'an. Aku rela menghabiskan waktuku berjam-jam untuk membaca Al-Qur'an. Bahkan sering sebelum waktu Isya aku sudah menghabiskan 2 juz. Inilah awal kecintaanku terhadap Al-Qur'an. Tradisi khatam Al-Qur'an setiap bulan Ramadhan pun tercipta sejak saat itu. Pada awal-awal nya aku memang tidak khatam pada saat Ramadhan saja, aku bisa khatam Al-Qur'an 2 kali dalam setahun saat kelas 3 SMA dan tahun awal kuliah. Tapi seiring dengan berjalannya waktu dan rasa malas yang mendera maka motivasiku semakin menghilang hingga setahun minimal harus 1 kali.
Sekarang, saat guru ngajiku menanyakan judul di atas, aku hanya bisa bermain dengan kenangan. Memang setahun masih tetap 1 kali khatam, tetapi aku merasa semakin jauh sekali rasa ketertarikan untuk membaca Al-Qur'an. Walaupun tekad untuk membacanya tetap ada tapi sering sekali terbentur dengan rasa malas yang mendera-dera. Bukannya membaca aku malah asyik dengan kompromi-kompromi terhadap diriku. Rasanya semakin jauh sekali dari Al-Qur'an. Janganlah lagi ditanya tentang mengamalkan isinya,masih jauh sekali dari diriku. Hanya pada saat Ramadhan sajalah semangat itu benar-benar bisa terbangun dan muncul kembali. Ya Allah rasanya ingin sekali aku jatuh cinta dengan Al-Qur'an. Rasanya jika kuhitung dengan kalkulasiku, menghabiskan waktu 10 menit untuk membaca 2 lembar Al-Qur'an setiap habis sholat fardhu sepertinya bukan suatu hal yang berat. Tapi Ya Allah, rasanya sekarang jauh sekali aku akan nilai-nilai Al-Qur'an. Kalau begini rasanya aku tak bisa menjadi generasi Qur'ani...Astaghfirullah Alladzim...***(yas)
Ya Allah sayangi kami dengan Qur'an...
Bagi kami Qur'an imam dan cahaya,
petunjuk dan rahmat...
Ya Allah tegurlah kami bila melalaikannya...
Dan ajarkan mukjizat Al-Qur'an...
Yang menjadi sumber rezeki,
sepanjang malam dan sepanjang siang hari...
Jadikanlah Al-Qur'an perisai
Ya Allah Tuhan kami...
Perkenalan aku sendiri dengan Al-Qur'an jauh terjadi saat aku masih kecil. Saat itu aku sering sekali pergi mengaji di sebuah Yayasan yang dimiliki oleh seorang Ustadzah bernama Rum. Jarak tempat itu dengan rumahku sekitar 100 meter. Setiap malam aku dan kawan-kawanku berangkat setiap habis maghrib saling sampar menyampar. Lalu sesampainya disana kami saling berebutan lekker (meja kecil terbuat dari kayu yang biasanya digunakan sebagai alas untuk menaruh Al-Qur'an) dan posisi tempat duduk yang strategis. Guru ngaji kami sendiri adalah remaja dari Yayasan itu yang kebanyakan adalah mahasiswa atau pekerja. Oiya, guru ngaji kami tidak ada yang perempuan, semuanya laki-laki kecuali pada waktu-waktu tertentu saja ada perempuannya, misalnya saat malam jum'at saat kami membaca Yasin beberapa guru wanita juga datang ke tempat kami.
Sebenarnya aku sangat tidak puas sekali saat guru mengajiku yang bernama Kak Ade (How I miss...) menaruhku di kelompok membaca Juz Amma (dulu rasanya buku Iqra belum sepopuler sekarang deh..). Aku harus membaca dari awal dan jika aku bagus dan tidak banyak mengulang serta menghabiskan Juz Amma maka aku bisa berpindah ke Al-Qur'an. Walaupun di rumah orang tuaku jarang mengajarkan aku mengaji tetapi aku merasa bahwa aku bisa sekali lebih jauh dari Juz Amma. Tapi Kak Ade tetap mengharuskan aku membetulkan bacaanku agar lebih bagus.
Pengajian ini ternyata hanya bertahan sampai aku kelas 5 SD saja atau kurang lebih 3 tahun. Lambat laun banyak teman-temanku yang jarang mengaji dan akhirnya keluar dari pengajian. Guru-guru kami pun juga lambat laun berkurang sejalan aktivitas mereka yang mungkin semakin padat. Setelah vakum tidak mengaji beberapa saat, orang tuaku menawarkan aku untuk masuk madrasah yang juga masih di bawah Yayasan milik Ustadzah Rum. Saat itu aku dimasukkan bersama dengan keponakanku yang masih kelas 2 SD. Aku dimasukkan di kelas 1 karena memang tempat dan pengajarnya yang terbatas. Aku masih ingat dengan Ustadzahku yang bernama Bu Supriyati (I miss u...), anak IKIP yang sangat baik dan sabar sekali. Aku senang belajar dengannya. Bacaan iqra kun pun yang bermula dari iqra 2 langsung melesat menjadi Iqra 4. Pelajaran Imla, fiqih dan akidah kuikuti dengan senang. Oiya, uniknya sekolah madrasahku adalah pengajarnya harus mengajar masing-masing 2 kelas. Satu kelas masing-masing dibagi dua baris. Kelasku yang kelas 1 kebetulan bersama dengan kelas 3 yang umur siswanya juga sama denganku. Sedangkan kelas 2 dan 4 belajar di lantai atas. Saat ustadzahku menawarkan aku untuk langsung pindah ke kelas 2, aku pun mencoba tawaran ustadzahku itu. Tetapi beberapa hari kemudian aku minta dipindahkan kembali ke kelas 1 karena aku merasa tidak cocok dengan gurunya. Dan di kelasku aku selalu mendapat peringkat pertama, secara aku khan udah kelas 5 SD...hehehe...
Ternyata usia belajarku di madrasah tak bertahan lama. Belum 1 tahun aku tidak bersekolah madrasah lagi karena muridnya yang semakin menghilang dan yang pasti rasa malasku yang harus bersekolah 2 kali. Dan selama itu pun aku tidak belajar mengaji unuk waktu yang cukup lama. Bahkan aku pun tak tahu tentang hukum tajwid. Baru setelah kelas 1 SMP di 67, aku berkenalan dengan Rohis. Aku ikut Rohis karena kebetulan kakak perempuanku yang ketiga yang saat itu sekolah di SMA 3 juga bergabung dengan Rohis dan memakai jilbab. Aku pun ikut kegiatan Rohis. Tapi aku paling malas sekali ikut acara BMAQ yang diadakan satu jam sebelum sholat Jum'at dimulai. Ya memang waktu itu aku belum mengerjakan sholat secara penuh, bahkan mungkin sering tidak sholat 5 waktu. Kebetulan pada saat SMP kelas 1 aku masuk siang, jadi semua siswa diwajibkan untuk ikut BMAQ yang diajarkan oleh kakak-kakak Rohis. Aku yang tidak pernah ikut akhirnya tak dapat kesempatan belajar tentang tajwid dan Al-Qur'an. Saat disuruh baca Al-Qur'an bergantian yang dibimbing oleh mentorku pada sebuah acara Pesantren kilat pun aku merasa tidak sanggup. Saat yang lain membaca satu halaman penuh, aku merasa tersiksa sekali walaupun hanya disuruh membaca 2 ayat. Sayangnya karena kesibukan kakak mentorku maka pengajian ini tidak berjalan. Padahal kuakui bahwa Rohis SMP ku lah yang mengajarkan aku untuk suka pada nasyid, tahu dunia ikhwan dan akhwat dan lainnya. Tapi sayang 3 tahun kemudian aku sama sekali tidak bersentuhan dengan Al-Qur'an sampai akhirnya aku masuk ke SMA.
Saat itu aku memutuskan untuk masuk SMA yang ada di samping SMP ku yaitu SMAN 43. Aku pun memutuskan untuk memilih ekskur Rohis sebagai salah satu bagian dari ekskurku selain PMR, Voli dan theater. Sekali lagi aku memilih ekskur Rohis karena itu ekskur ku di saat SMP dan terinspirasi dari kakakku. Aku baru tahu dikemudian hari kalau Rohis SMAN 43 adalah salah satu yang terbaik di Jakarta dan merupakan salah satu pelopor pergerakan dakwah sekolah. Saat masuk SMA aku memang bertekad untuk menjadi lebih baik lagi daripada di SMP dulu.
Tapi sayangnya, lagi-lagi aku hanya tercatat namanya saja sebagai anggota Rohis. Aku jarang sekali ikut kegiatan rutinnya yang waktu itu diselenggarakan setiap hari Sabtu sepulang sekolah dari jam 17.00 sampai 19.00 (sekolahku waktu itu khusus kelas 1 masuk siang hari). Aku selalu main kucing-kucingan dengan pengurusnya yang setiap bubar siswa menjaga di depan pintu gerbang sekolah untuk menarik anggota ekskur Rohis. Ekskur di sekolahku memang wajib karena kalau tidak ikut ekskur maka jangan harap bisa mengambil rapot. Aku jarang ikut Rohis karena aku terburu-buru ingin pulang ke rumah untuk menonton ASIA BAGUS. Waktu itu aku sangat menyukai acara yang dibawakan oleh Najib Ali dan Tomoko itu. Pun kegiatan BMAQ yang diadakan pada hari minggu pagi juga aku tidak ikuti. Rasanya aku masih trauma kalau harus membaca Al-Qur'an. Kehadiranku di BMAQ rasanya bisa dihitung dengan jari. Itu pun aku terpaksa hadir karena guru pembina Rohis yang juga guru Bahasa Indonesia mengancam tidak akan memberiku nilai bahasa Indonesia. Kebetulan itu pelajaran favoritku dan guru itu juga salah satu guru favoritku. Pada waktu acara pesantren kilat yang diadakan Rohis di puncak secara mengejutkan aku dimasukkan di kelompok favorit. Aku sama sekali tidak tertarik, terlebih saat acara mentoring, mentorku meminta setiap mentee nya untuk membaca satu lembar Al-Qur'an. Dan lagi-lagi aku yang terbodoh. Aku pun meminta keringanan untuk mebaca 1 atau 2 ayat saja, tapi mentorku menolak dan menyuruhku tetap membaca 1 lembar. Dan sampai kelas 1 SMA pun aku sama sekali tidak mengerti tentang tajwid dan makhrojul huruf.
Semuanya berubah saat cawu 3 di kelas 1. Guru Bahasa Indonesiaku yang bernama Bu Imas (terima kasih ibu) memanggilku dan bertanya kenapa aku tidak pernah ikut kegiatan Rohis di hari Minggu? Karena dia guru favoritku aku pun menjawab dengan jujur bahwa pada saat itu aku belum bangun tidur. Dia kemudian mempertanyakan apakah aku sholat subuh atau tidak (aduh malunya aku) yang kujawab dengan senyum. Dia pun memberi ultimatum bahwa aku harus ikut acara setiap hari minggu atau kalau tidak nilaiku akan dikurangi 5! Ya mau nggak mau aku akhirnya mulai rutin mengikuti kegiatan BMAQ.
Setelah aku menjadi pengurus Rohis (oiya, saat itu aku belum pernah khatam Al-Qur'an) aku dituntut untuk bisa membaca Al-Qur'an secara benar. Alhamdulillah akhirnya aku mulai lancar membaca Al-Qur'an walaupun tanpa tajwid dan makhrojul hurufnya. Alhamdulillah akhirnya menjelang kelas 3 yang kuingat aku berhasil menghabiskan Al-Qur'an alias khatam Al-Qur'an. Saat kelas 3, mentorku tidak melanjutkan kembali mentoring karena beliau sibuk dengan urusan pekerjaannya. Maka aku dioper ke rekannya yang bernama Bang Hakim. Di mentoring rutin ini aku pun semakin terlatih untuk membaca Al-Qur'an sebanyak satu halaman. Pada saat bersamaan aku dan teman-teman ngajiku memutuskan untuk ikut khursus tahsin pekanan di Masjid Bimantara Kebon Sirih. Saat itu pengajarku adalah Ustadz Furqon. Aku senang sekali dengan metode mengajarnya yang fasih. Memang aku adalah yang terbodoh di kelompok itu karena memang aku satu-satunya yang tidak mengerti tajwid. Bahkan untuk mengucapkan huruf KHO yang seperti mengeluarkan reak dalam latihan Makhrojul huruf, teman-temanku mentertawaiku karena aku tidak bisa. Seiring berjalannya waktu akupun semakin paham dengan tajwid dan makhrojul huruf. Aku ingat sekali aku mampu menghabiskan 1 juz Al-Qur'an saat tilawah sepulang sekolah yang kulakukan di masjid sekolah. Bagiku ini adalah prestasi baruku yang dulu sama sekali tidak pernah melakukan hal seperti ini. Lalu memasuki bulan Ramadhan di saat aku kelas 3, aku semakin cinta dengan Al-Qur'an. Aku rela menghabiskan waktuku berjam-jam untuk membaca Al-Qur'an. Bahkan sering sebelum waktu Isya aku sudah menghabiskan 2 juz. Inilah awal kecintaanku terhadap Al-Qur'an. Tradisi khatam Al-Qur'an setiap bulan Ramadhan pun tercipta sejak saat itu. Pada awal-awal nya aku memang tidak khatam pada saat Ramadhan saja, aku bisa khatam Al-Qur'an 2 kali dalam setahun saat kelas 3 SMA dan tahun awal kuliah. Tapi seiring dengan berjalannya waktu dan rasa malas yang mendera maka motivasiku semakin menghilang hingga setahun minimal harus 1 kali.
Sekarang, saat guru ngajiku menanyakan judul di atas, aku hanya bisa bermain dengan kenangan. Memang setahun masih tetap 1 kali khatam, tetapi aku merasa semakin jauh sekali rasa ketertarikan untuk membaca Al-Qur'an. Walaupun tekad untuk membacanya tetap ada tapi sering sekali terbentur dengan rasa malas yang mendera-dera. Bukannya membaca aku malah asyik dengan kompromi-kompromi terhadap diriku. Rasanya semakin jauh sekali dari Al-Qur'an. Janganlah lagi ditanya tentang mengamalkan isinya,masih jauh sekali dari diriku. Hanya pada saat Ramadhan sajalah semangat itu benar-benar bisa terbangun dan muncul kembali. Ya Allah rasanya ingin sekali aku jatuh cinta dengan Al-Qur'an. Rasanya jika kuhitung dengan kalkulasiku, menghabiskan waktu 10 menit untuk membaca 2 lembar Al-Qur'an setiap habis sholat fardhu sepertinya bukan suatu hal yang berat. Tapi Ya Allah, rasanya sekarang jauh sekali aku akan nilai-nilai Al-Qur'an. Kalau begini rasanya aku tak bisa menjadi generasi Qur'ani...Astaghfirullah Alladzim...***(yas)
Ya Allah sayangi kami dengan Qur'an...
Bagi kami Qur'an imam dan cahaya,
petunjuk dan rahmat...
Ya Allah tegurlah kami bila melalaikannya...
Dan ajarkan mukjizat Al-Qur'an...
Yang menjadi sumber rezeki,
sepanjang malam dan sepanjang siang hari...
Jadikanlah Al-Qur'an perisai
Ya Allah Tuhan kami...
My work room, January 23, 2009
at 02.20 am
Sebuah jeritan hati
yang rindu Al-Qur'an...
at 02.20 am
Sebuah jeritan hati
yang rindu Al-Qur'an...
1 comment:
ANE SEUMUR IDUP baru SATU KALI BANG ! NAAS MEMANG !
hiks2
emang nte mw nambahain apaan lagi sama blog nte...?
btw kq judulnya Man In Middle ?
Middle Earth kaleee....
kalo nte dah punya sikap buat memilih dan nte menjalani yang nte pilih, nte udah gak ditengah lagi,,
jadwal kuliah ane...
sabtu gak bisa dateng rohis lg,
ane libur setiap hari senin,selasa, rabu...
ditunggu posting selanjutnya.
Post a Comment