Seperti yang sudah-sudah, hari Minggu, 11 Januari 2009, menjadi tanda bahwa sesama muslim itu bersaudara. Bukan hanya bersaudara, tetapi menjadi bagian dalam tubuh itu sendiri. Sebuah aksi kemanusiaan yang digalang untuk sebuah negeri nun jauh disana yang sedang terluka, Palestina. Bukan hanya aksi yang menunjukkan kekuatan kita sebagai muslim, tetapi aksi yang juga menyisihkan sedikit rupiah yang kita punya untuk saudara kita di sana. Aku yakin sekali, saat Palestina melihat aksi yang kita lakukan hari ini maka air mata akan membasahi wajah mereka dan bahkan membasahi janggut-janggut mereka. Lalu seperti digerakkan oleh kekuatan, entah darimana, mereka akan berucap, "Kita tidak sendirian,".
Maka aksi kali ini adalah sumbangsih kesekian kalinya dari sebuah Partai yang sudah hampir 11 tahun aku mengenalnya. Sebuah tempat para ustadz-ustadz ku berkumpul. Sebuah partai yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan terbentuk dan menjadi besar seperti sekarang. Mungkin dulu sebelum era reformasi, para ustadz-ustadz itu tidak mau sedikitpun bersentuhan dengan dunia politik yang terkenal kotor. Tetapi saat keadaan memungkinkan, dan sebauah cita-cita besar ingin dicapai serta kekuasaan ingin dibuat menjadi lebih berpihak dengan Islam, maka para ustadz-ustadzku ini membentuk sebuah Partai sebagai refleksi perjuangan mereka. Mereka yang dulunya tidak mengenal politik dan sejarahnya sama sekali, maka dengan ini harus menyelami dunia politik itu seutuhnya. Biasanya mereka menghafal ayat-ayat dalam Al-Qur'an, maka kali ini mereka harus menghafal perundangan dan yang lainnya. Tetapi ustadz-ustadz ini bukanlah kumpulan orang tua yang bodoh, malah mereka tergolong jenius dan cerdas. Hanya saja dulu mereka tidak bisa menerapkan kecerdasan mereka di sebuah negeri yang rasanya sulit untuk bergerak. Lalu mereka pun mengabdikan diri pada masyarakat dan agama Islam itu sendiri.
Perjuangan mereka yang dulu terasa berat dan penuh dengan fitnah dan ancaman akhirnya menjadi indah pada waktunya, kini. Kian banyak masyarakat yang dekat pada agama mereka. Fenomenan wanita berjilbab bukanlah suatu hal yang aneh sekarang. Tidak pernah terbayangkan kalau dahulu para ukhti muslimah memperjuangkannya dengan mati-matian. Difitnah menyebarkan racun, penampilan aneh, primitif dan lain sebagainya. Pengajian juga sudah semakin marak, sebuah hal yang diperjuangkan dahulu oleh para ustadz-ustadz. Tahukah kalau dulu para ustadzku itu dipenjara, dituduh melakukan makar terhadap negara, dituduh aliran sesat dan sebagainya. Tahukah mereka yang sekarang memfitnah para ustadzku dan partaiku juga bahwa dulu yang memperjuangkan Islam hingga sekarang adalah bukan mereka. Mereka yang berjuang bukanlah yang hatinya penuh dengan rasa iri dan dengki dan saling mencela antar golongan Islam.
Tetapi makin hari ke hari, terasa sepertinya sebuah cita-cita bangsa ini semakin mengabur. Sebuah cita-cita besar yang menginginkan kesejahteraan untuk rakyatnya. Sebuah keadilan yang menjamin masyarakatnya untuk mendapatkan segala hak yang dipunyainya. Mendapatkan hak pendidikan, hak berpendapat, hak untuk tidak hidup miskin, hak untuk bekerja dan hak untuk bisa mendapatkan hasil dari sumber daya alam yang dimiliki bangsa ini.Semakin terpuruk bangsa ini dan mendorong ke sebuah tepi jurang kehancuran. Semua orang miskin diharuskan bermimpi buruk. Segalanya sangat tidak layak di negeri ini. Perpecahan, kasus yang dimodifikasi oleh orang-orang barat, bencana alam, kemiskinan, dan banyak tragedi lainnya.
Seolah Allah telah mengunci mati hati para pemimpin di negeri ini. Para pejabat di negeri ini. Banyak hal yang terasa mengganjal di hati, dan pkiran seorang manusia normal. Seorang penjahat yang korupsi uang negara ratusan milyar, hanya dipenjara beberapa tahun saja. Itupun bukan penjara murni seutuhnya. Mereka masih mendapatkan tempat tidur yang empuk, fasilitas kamar mandi yang memadai, alat komunikasi, dan fasilitas lainnya layak. Keluarga mereka bisa hidup tenang dan damai. Semua aset dilarikan ke luar negeri. Dan dalam waktu singkat lebih bangga menjadi bagaian dari pembaratan. Sedangkan sebagai pembandingan, seorang miskin yang terpaksa mencuri karena deraan lapar yang menggerogoti perutnya dan tertangkap basah, dengan tidak berperikemanusian dipukul beramai-ramai. Aparat memberlakukannya layaknya sebuah sak tinju. Bahkan dalam beberapa kasus pencuri itu terpaksa menemui ajalnya dengan dibakar hidup-hidup. Andaikan hidup bisa memilih, mungkin orang itu tidak ingin menjadi orang miskin. Mungkin, saat dirinya dipukul dan dibantai habis oleh orang-orang tidak berperikemanusian, yang tergambar dalam benaknya adalah wajah anak dan istrinya yang menanti kedatangan, mengharap kedatangan itu bisa mengusir rasa lapar akibat beberapa hari tidak makan. Sebuah wajah yang ironi bagi negeriku bernama Indonesia.
Aku sangat muak sekali saat para pemimpin di negeri ini menghimbau masyarakat untuk hidup hemat sementara mereka tidak melakukannya. Seorang menteri menyarakankan masyarakat untuk makan tempe sedangkan menteri itu sendiri memilih menu ala barat. Yang lainnya menyarankan untuk hidup sederhana sementara keluarganya hidup dalam kemewahan. Dimana keteladanan seorang pemimpin? Apakah tidak ada lagi panutan di negeri ini? Apakah mereka yang punya hati nurani sudah tidak ada lagi sehingga sulit sekali untuk dicari? Dan semakin terpuruk saja negeriku ini.
Kemudian, harapana itu hidup kembali. Saat para ustadz ku terjun ke kancah politik. Dengan kebersahajaannya, sikap rendah hatinya, rasa tawadhunya. Merekalah yang tidak bisa tidur saat tetangga mereka kelaparan sedangkan perut mereka sudah kenyang. Ada perasaan berdosa disitu. Merekalah yang turun pertama kali saat masyarakat dilanda bencana. Tanpa ragu dan memilah-milih mereka menolong setiap orang yang kesulitan. Merekalah yang selalu menyisihkan uang gaji mereka untuk diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Merekalah yang selalu tersenyum ramah dan menolong masyarakat di sekitar...(Ya ustadz rasanya aku ingin sekali menangis jika mengingat bahwa aku belum bisa melakukan apa yang telah kau lakukan).
Indonesia pun menyambut baik. Betapa muslim disini sudah terlalu lama disakiti. Betapa kita merindukan seorang pemimpin yang sederhana seperti Umar bin Khatab, yang memanggul sendiri makanan untuk rakyatnya. Merindukan Indonesia akan menjadi negara yang menyongsong kebangkitan. Kebangkita yang datang dari Timur. Perlahan negeri ini pun bangkit. Bangkit dari keterpurukan dan mimpi buruk yang panjang. Suatu saat negeri ini akan berpihak pada rakyat miskin, akan memberikan keadialan bagi semua yang mendiami negeri ini. Sehingga kesejahteraan pun bisa diraih.
Bangkitlah negeri...!! Songsonglah perubahan zaman itu. Lupakanlah mimpi buruk mu. Bangkitlah dari tidurmu yang panjang.
Bangkitlah negeriku...!! Bangkitlah!! Dengan permulaan takbir, dan bergegaslah berwudhu agar wajahmu tidak muram seperti sedia kala.
Bangkitlah negeriku...!! Dengan takbir di kepalan tanganmu. Dan yakinlah bahwa harapan itu masih ada!
Bangkitlah,...bersama kami ... Partai Keadilan Sejahtera! Insya Allah...***(yas)
Bangkitlah negeriku...!! Bangkitlah!! Dengan permulaan takbir, dan bergegaslah berwudhu agar wajahmu tidak muram seperti sedia kala.
Bangkitlah negeriku...!! Dengan takbir di kepalan tanganmu. Dan yakinlah bahwa harapan itu masih ada!
Bangkitlah,...bersama kami ... Partai Keadilan Sejahtera! Insya Allah...***(yas)
My bedroom, January 15, 2009
at 02.25 am
Inspired by song by ShoHar!!
Harapan itu masih ada...
at 02.25 am
Inspired by song by ShoHar!!
Harapan itu masih ada...
No comments:
Post a Comment