Pernah makan buah rambutan khan? Pasti pernah. Hampir semua orang tau buah kecil berambut ini. Ada yang rasanya manis, kadang-kadang asam dan ada juga yang sedang-sedang saja. Mungkin saking seringnya kita makan buah ini pada saat musimnya tiba, jadi seolah terasa biasa-biasa saja saat kita memakannya. No special! Mungkin sebuah kisah ini bisa menjadi sebuah inspirasi bagi kita pemakan rambutan. Sebuah kisah pentingnya memberi walaupun dalam keterbatasan.
Usai sudah sebuah aksi kemanusiaan yang kuikuti, aku dan temanku memutuskan untuk menyempatkan diri sholat di Masjid Istiqlal yang lokasinya memang tak jauh dari tempat aksi itu diadakan. Kebetulan temanku mengajak mentee-mentee nya jadi bisa sekalian mengenalkan mereka pada masjid itu. Sengaja mentee-mentee yang baru menginjak bangku kelas 1 SMA diajak aksi itu untuk menimbulkan ghirah mereka.
Hujan rintik-rintik pun seolah menjadi tanda bahwa aksi yang dilakukan tadi dirahmati oleh Allah SWT. Aku pun mengucapkan hamdallah sambil bergegas berjalan menuju masjid itu. Sesampainya aku di pertigaan jalan, dan saat ingin menyebrang, kulihat seorang ibu muda berumur sekitar 30 tahunan berkemeja putih dan bercelana jeans menggendong anaknya yang balita. Dua orang anak lelaki di bawah umur 10 tahun juga bersamanya. Penampilan mereka layaknya (maaf) manusia-manusia gerobak yang tidak punya tempat tinggal, kurang rapi dan sedikit kotor. Di belakangnya kulihat seorang lelaki tua di penghujung usia juga dengan berpakaian kumuh berjalan di belakangnya. Tampak lelaki itu kelelahan. Ibu muda dan lelaki itu itu tampaknya tidak saling kenal, itu terlihat jelas dari jarak jalan mereka yang sedikit berjauhan. Lalu hal yang menginspirasikanku pun hadir...
Ibu itu mengambil 3 buah rambutan dari kantong pelastik yang dibawanya. Sang anak tampaknya sangat ingin sekali memakan buah itu. Kebetulan buah itu juga pas dengan anak yang dibawanya. Tapi tanpa dinyana, sang Ibu menghentikan langkahnya dan melihat ke belakang, ke bapak tua renta itu. Si Ibu menunggu hingga si bapak itu sampai di tempatnya berdiri. Ketika bapak itu sampai, dan si ibu itu melihat jelas kelelahan di wajahnya, lalu dia berkata pada anak-anaknya yang bisa kudengar.
" Kita kasih rambutannya ke bapak ini ya!" si Ibu tanpa perlu meminta persetujuan anak-anaknya langsung memberi rambutan itu pada si bapak tua. Mungkin ibu itu berpikir bahwa bapak tua itu lebih memerlukannya ketimbang dirinya dan anak-anaknya. Mata anak-anaknya hanya melihat sayang kepada rambutan itu. Mungkin mereka juga kepingin rambutan itu, tapi sang ibu merasa bahwa anak-anaknya akan dapat menikmatinya rambutan di lain waktu.
" Ini Pak rambutannya..." Sang Ibu memberikan rambutan itu.
Sang Bapak tua itu dengan agak ragu menerima rambutan itu setelah tampaknya dia juga tidak tega melihat ketiga anak sang ibu itu.
" Gak apa-apa Pak, ntar kita bisa beli lagi," Ibu itu meyakinkan si Bapak.
Dan setelah itu Ibu dan bapak itu berpisah arah dengan aku...
Aku menoleh ke arah teman yang ada disebelahku. Ternyata dia juga melihat kejadian itu.
" Ya Ampun...Subhanallah...ane jadi terharu deh..." ujarku. Temanku hanya mengangguk.
Lalu semua kejadian tadi seolah membawaku membuka diriku sendiri. Kuakui bahwa aku pribadi adalah seorang yang cenderung pelit kalau soal makanan. Aku begitu tertohok sekali dengan kejadian itu. Bisakah kita berbagi di saat kita juga sedang dalam keadaan sulit?
Ibu itu mengajarkan bahwa berbagi bukanlah milik orang-orang kaya saja. Mereka yang merasa selalu dalam keadaan kekurangan pun sebenarnya bisa berbagi dengan apapun yang mereka punyai. Seperti Ibu itu dengan rambutannya. Walaupun bagi aku tiga buah rambutan terlihat tidak penting sekali, tapi bagi ibu itu tiga buah rambutan itu adalah sebuah hal yang penting. Dan mungkin kalau aku yang dibagi tiga buah rambutan itu, mungkin aku akan menolaknya. Tapi bagi bapak itu 3 buah rambutan itu adalah hal yang sangat berarti baginya. Sebuah frame yang berbeda pikiran kita.
Sampai di Masjid kebanggaan Indonesia pun aku masih belum berhenti memikirkan kemurahan hati sang Ibu tadi. Pikiranku pun terbang ke seorang teman yang begitu maunya dia berbagi. Bila dia membeli makanan maka dia akan mengajak semua orang berkumpul untuk makan bersama-sama. Atau bila dia amakan di luar maka dia juga tak akan lupa untuk membawakan sedikit oleh-oleh bagi temannya, agar dia tak hanya bisa menceritakan tentang lezatnya sebuah makanan dan temannya hanya bisa membayangkan, tetapi dia juga ingin temannya merasai apa yang dia rasakan.
Kisah 3 mujahid perang badar yang saling ingin berbagi seteguk air hingga akhirnya tak ada satupun air yang diteguk oleh mereka juga terputar ulang di benakku. Kisah 8 dirham yang dibawa Rosululloh untuk membeli baju tetapi sampai pulang ke rumah tak ada satupun baju yang dibawanya karena semua uang yang dibawanya dia dermakan kepada orang-orang di sepanjang pasar juga terputar ulang.
Teringat kembali, sebuah dialog dengan temanku saat kami kesulitan mencari dana untuk melaksanakan dauroh. Pada saat itu, saat sedang mendiskusikan anggaran dana, kami melihat di televisi tentang perkara korupsi seorang pejabat sebanyak 8 milyar.
" Ya Allah...kalau dia punya uang sebanyak itu terus dipake buat dauroh, berapa ratus kali kita bisa melaksanakan dauroh..." ujar temanku.
" Atau kalau uang dia dibagi ke kita 2 juta saja," aku menambahkan (pastinya bukan uang korupsi yang kita inginkan).
Kami pun hanya bisa mengelus dada. Inilah manusia di negeriku tercinta. Memupuk kekayaan tanpa mempedulikan orang lain. Tapi kisah Ibu itu membuatku yakin, bahwa di antara banyaknya para penimbun harta, masih banyak juga orang-orang yang peduli untuk berbagi.
Usai sudah sebuah aksi kemanusiaan yang kuikuti, aku dan temanku memutuskan untuk menyempatkan diri sholat di Masjid Istiqlal yang lokasinya memang tak jauh dari tempat aksi itu diadakan. Kebetulan temanku mengajak mentee-mentee nya jadi bisa sekalian mengenalkan mereka pada masjid itu. Sengaja mentee-mentee yang baru menginjak bangku kelas 1 SMA diajak aksi itu untuk menimbulkan ghirah mereka.
Hujan rintik-rintik pun seolah menjadi tanda bahwa aksi yang dilakukan tadi dirahmati oleh Allah SWT. Aku pun mengucapkan hamdallah sambil bergegas berjalan menuju masjid itu. Sesampainya aku di pertigaan jalan, dan saat ingin menyebrang, kulihat seorang ibu muda berumur sekitar 30 tahunan berkemeja putih dan bercelana jeans menggendong anaknya yang balita. Dua orang anak lelaki di bawah umur 10 tahun juga bersamanya. Penampilan mereka layaknya (maaf) manusia-manusia gerobak yang tidak punya tempat tinggal, kurang rapi dan sedikit kotor. Di belakangnya kulihat seorang lelaki tua di penghujung usia juga dengan berpakaian kumuh berjalan di belakangnya. Tampak lelaki itu kelelahan. Ibu muda dan lelaki itu itu tampaknya tidak saling kenal, itu terlihat jelas dari jarak jalan mereka yang sedikit berjauhan. Lalu hal yang menginspirasikanku pun hadir...
Ibu itu mengambil 3 buah rambutan dari kantong pelastik yang dibawanya. Sang anak tampaknya sangat ingin sekali memakan buah itu. Kebetulan buah itu juga pas dengan anak yang dibawanya. Tapi tanpa dinyana, sang Ibu menghentikan langkahnya dan melihat ke belakang, ke bapak tua renta itu. Si Ibu menunggu hingga si bapak itu sampai di tempatnya berdiri. Ketika bapak itu sampai, dan si ibu itu melihat jelas kelelahan di wajahnya, lalu dia berkata pada anak-anaknya yang bisa kudengar.
" Kita kasih rambutannya ke bapak ini ya!" si Ibu tanpa perlu meminta persetujuan anak-anaknya langsung memberi rambutan itu pada si bapak tua. Mungkin ibu itu berpikir bahwa bapak tua itu lebih memerlukannya ketimbang dirinya dan anak-anaknya. Mata anak-anaknya hanya melihat sayang kepada rambutan itu. Mungkin mereka juga kepingin rambutan itu, tapi sang ibu merasa bahwa anak-anaknya akan dapat menikmatinya rambutan di lain waktu.
" Ini Pak rambutannya..." Sang Ibu memberikan rambutan itu.
Sang Bapak tua itu dengan agak ragu menerima rambutan itu setelah tampaknya dia juga tidak tega melihat ketiga anak sang ibu itu.
" Gak apa-apa Pak, ntar kita bisa beli lagi," Ibu itu meyakinkan si Bapak.
Dan setelah itu Ibu dan bapak itu berpisah arah dengan aku...
Aku menoleh ke arah teman yang ada disebelahku. Ternyata dia juga melihat kejadian itu.
" Ya Ampun...Subhanallah...ane jadi terharu deh..." ujarku. Temanku hanya mengangguk.
Lalu semua kejadian tadi seolah membawaku membuka diriku sendiri. Kuakui bahwa aku pribadi adalah seorang yang cenderung pelit kalau soal makanan. Aku begitu tertohok sekali dengan kejadian itu. Bisakah kita berbagi di saat kita juga sedang dalam keadaan sulit?
Ibu itu mengajarkan bahwa berbagi bukanlah milik orang-orang kaya saja. Mereka yang merasa selalu dalam keadaan kekurangan pun sebenarnya bisa berbagi dengan apapun yang mereka punyai. Seperti Ibu itu dengan rambutannya. Walaupun bagi aku tiga buah rambutan terlihat tidak penting sekali, tapi bagi ibu itu tiga buah rambutan itu adalah sebuah hal yang penting. Dan mungkin kalau aku yang dibagi tiga buah rambutan itu, mungkin aku akan menolaknya. Tapi bagi bapak itu 3 buah rambutan itu adalah hal yang sangat berarti baginya. Sebuah frame yang berbeda pikiran kita.
Sampai di Masjid kebanggaan Indonesia pun aku masih belum berhenti memikirkan kemurahan hati sang Ibu tadi. Pikiranku pun terbang ke seorang teman yang begitu maunya dia berbagi. Bila dia membeli makanan maka dia akan mengajak semua orang berkumpul untuk makan bersama-sama. Atau bila dia amakan di luar maka dia juga tak akan lupa untuk membawakan sedikit oleh-oleh bagi temannya, agar dia tak hanya bisa menceritakan tentang lezatnya sebuah makanan dan temannya hanya bisa membayangkan, tetapi dia juga ingin temannya merasai apa yang dia rasakan.
Kisah 3 mujahid perang badar yang saling ingin berbagi seteguk air hingga akhirnya tak ada satupun air yang diteguk oleh mereka juga terputar ulang di benakku. Kisah 8 dirham yang dibawa Rosululloh untuk membeli baju tetapi sampai pulang ke rumah tak ada satupun baju yang dibawanya karena semua uang yang dibawanya dia dermakan kepada orang-orang di sepanjang pasar juga terputar ulang.
Teringat kembali, sebuah dialog dengan temanku saat kami kesulitan mencari dana untuk melaksanakan dauroh. Pada saat itu, saat sedang mendiskusikan anggaran dana, kami melihat di televisi tentang perkara korupsi seorang pejabat sebanyak 8 milyar.
" Ya Allah...kalau dia punya uang sebanyak itu terus dipake buat dauroh, berapa ratus kali kita bisa melaksanakan dauroh..." ujar temanku.
" Atau kalau uang dia dibagi ke kita 2 juta saja," aku menambahkan (pastinya bukan uang korupsi yang kita inginkan).
Kami pun hanya bisa mengelus dada. Inilah manusia di negeriku tercinta. Memupuk kekayaan tanpa mempedulikan orang lain. Tapi kisah Ibu itu membuatku yakin, bahwa di antara banyaknya para penimbun harta, masih banyak juga orang-orang yang peduli untuk berbagi.
Ya Rabbana...Karuniailah Kami jiwa dan hati yang bersih...
Karuniailah kami hati yang selalu ingin berderma...
kapanpun dan dalam kondisi apapun....
Rabbana Ma Kholaqta Hadza bathila subhanaka faqina adzabannar..***(yas)
Karuniailah kami hati yang selalu ingin berderma...
kapanpun dan dalam kondisi apapun....
Rabbana Ma Kholaqta Hadza bathila subhanaka faqina adzabannar..***(yas)
My Work room, January 21, 2009
at 03.00 am menjelang QL
Semoga ada cahaya terang...
at 03.00 am menjelang QL
Semoga ada cahaya terang...
No comments:
Post a Comment