Pada awalnya saya tidak kenal dengan wanita yang bernama Rachel Corrie. Pada saat kematiannya tanggal 16 Maret 2003, mungkin yang saya ingat tanggal itu adalah hari kelahirannya Dian Sastrowardoyo, seorang aktris yang dulu sempat saya sukai. Berita tentang kematian Rachel sendiri tampaknya juga tidak diberitakan secara heboh di media massa. Berbeda dengan misalnya, ada warga negara Amerika Serikat lainnya yang diculik oleh Taliban, pasti beritanya akan menjadi heboh.
Namun semuanya berubah saat saya sedang mengunjungi toko buku Gramedia, sehari sebelum tanggal 25 Desember 2009. Saat sedang sibuk memilih-milih buku yang ingin saya beli, di bagian novel-novel saya menemukan buku Rachel Corrie, "LET ME STAND ALONE" terjemahan bahasa Indonesia. Tentu saja yang begitu intens memperhatikan orang-orang Amerika atau "bule" yang begitu concern terhadap Islam langsung tertarik dengan buku itu. Saya memang begitu menyukai segala hal yang berkenaan dengan dunia barat, terutama mereka yang tiba-tiba mengubah jalan hidupnya 180 derajat, dari tidak mengenal Islam menjadi pemeluk Islam, contohnya seperti Yvonne Ridley, James Yee, Brandy Korman, dan yang lainnya. Otomatis saya pun tertarik dengan Rachel Corrie. Kebetulan pada saat itu siatuasi di Palestina juga sedang bergejolak. Lunatic Israel, menginvasi Palestina kembali dan tanpa ampun menghujani Gaza dengan bom-bom. Tapi sayangnya pada saat itu harga buku itu tidak cukup dengan uang yang saya bawa sehingga saya tidak langsung membelinya. Beberapa hari kemudian, seorang teman menghadiahi saya buku itu. Sebuah buku yang sangat menginspirasi dan menyemangati hidup saya.
Rachel Corrie adalah seorang gadis Amerika Serikat berumur 23 tahun. Masih muda dan cantik. Dia berasal dari negara bagian Washington, tepatnya di Olympia. Dia hidup bersama orang tua yang begitu demokratis dan kakak-kakak yang begitu menyayanginya. Sebagai seorang anak bungsu wajar kalau Rachel begitu disayangi oleh orang tuanya. Tapi Rachel kecil bukanlah seperti kebanyakan warga AS lainnya. Dia begitu tertarik dengan alam. Pemikirannya begitu tajam dan intens. Beberapa kejadian di dunia yang menurutnya memprihatinkan, seperti bencana kelaparan, perang dan lainnya membuat dirinya terenyuh. Berkali-kali dia menulis dalam buku catatannya tentang keprihatinannya terhadap semua bencana yang terjadi. Dan dia merasa bersalah karena dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada saat dia beranjak remaja. Dia mulai aktif mengikuti organisasi-organisai kemanusian. Dia memang bukan tipikal gadis muda AS pada umumnya. Pada saat seharusnya gadis seumur dia mencoba make-up terbaru, menggosippkan teman di sekolah, berbincang-bincang masalah cowok, dan berpacaran, Rachel mengambil jalur yang berbeda. Dia tidak hanya memperhatikan dirinya saja tetapi rachel malah memperhatikan orang lain. Dia mengumpulkan makanan dari hotel-hotel ternama untuk dibagikan kepada warga sekitar yang kelaparan. Dia juga aktif menolak segala perang yang dilancarkan pemerintahan pada masa itu, terlebih saat itu Amerika sedang dilanda paranoid akan serangan teroris. Maka kelakuan Rachel dinilai aneh sekali.
Mata Rachel semakin terbuka lebar saat dia menyaksikan kebiadaban yang dilakukan bangsa Israel terhadap warga Palestina. Sebagai bangsa penjajah, Israel dengan seenaknya mencaplok setiap wilayah di Palestina tanpa memperhatikan hukum-hukum internasional. Dan yang lebih mengherankan Rachel, negara-negara di dunia seolah menutup mata dengan kejadian yang terjadi di palestina ini. Tak lama dia memutuskan untuk bergabung dengan International Solidarity Movement (ISM) dan Rachel mengajukan dirinya untuk menjadi "People Chains" di Palestina untuk melindungi warga sipil. Dia kemudian dikirim ke Rafah bersama 7 orang aktivis ISM lainnya.
Di Rafah, Rachel tinggal bersama penduduk asli Palestina. ISM datang dengan tujuan damai bukan dengan kekerasan. Mereka tidak berpihak kepada siapapun, tetapi mereka berpihak pada kemanusiaan. Bahkan Alice seorang aktivis LSM beragama Yahudi. Dan Israel tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Maka ISM mencoba untuk mengguah rasa kemanusian itu.
Aksi-aksi yang dilakukan Rachel Corrie begitu terasa bagi rakyat Palestina. Dia bersama 7 temannya menjaga sebuah sumur, sumber air satu-satunya, yang akan diuruk oleh tentara Israel. Mereka berdiam diri di sana menjaga sumur itu. Mereka rela harus berpanas-panasan dan menahan dahaga yang mat sangat. Aksi lainnya adalah mereka berusaha menghalangi buldozer-buldozer tentara Israel yang akan menghancurkan rumah-rumah penduduk. Dengan berani mereka menghadang buldozer itu dengan nyawa mereka sebagai taruhannya. Dan aksi inilah yang mengantarkan Rachel Corrie menemui ajalnya.
Sore itu, di Rafah yang mulai meredup cahaya, terdengar suara buldozer menuju tempat kediaman seorang dokter yang dijadikan tempat tinggal oleh Rachel Corrie. Segera Rachel dan beberapa aktivis lainnya keluar rumah dan mencoba mengadang buldozer Israel di depan. Saat itu Rachel mengenakan baju berwarna jingga menyala dan ditangannya terdapat megaphone untuk berteriak-teriak. Tetapi buldozer itu seperti tak kenal ampun. Rachel yang sedang berteriak-teraik langsung diseruduk oleh buldozer itu sehingga dia terhempas dan terjatuh kedalam tanah. Dua orang teman Rachel berteriak-teriak agar tentara Isarel itu berhenti. Tetapi mereka terus melakukan aksi brutal itu. Baru tak lama kemudian mereka berhenti.
Saat itu tubuh Rachel sudah remuk. Beberapa tulang terliat menerobos kulitnya. Rekannya segera memberikan pertolongan pertama sambil yang lainnya berusaha menemukan ambulan. Rachel hanya sedikit berkata, "Sepertinya tulangku ada yang remuk,". Tak lama ambulan yang datang dengan jaminan seorang aktivis ISM membawa Rachel ke rumah sakit. Namun malangnya nyawa Rachel sudah tak tertolong lagi. Tak lama setelah tiba di rumah sakit, Rachel menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Saat itu tubuh Rachel sudah remuk. Beberapa tulang terliat menerobos kulitnya. Rekannya segera memberikan pertolongan pertama sambil yang lainnya berusaha menemukan ambulan. Rachel hanya sedikit berkata, "Sepertinya tulangku ada yang remuk,". Tak lama ambulan yang datang dengan jaminan seorang aktivis ISM membawa Rachel ke rumah sakit. Namun malangnya nyawa Rachel sudah tak tertolong lagi. Tak lama setelah tiba di rumah sakit, Rachel menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Rakyat Palestina pun menyambut jenazah Rachel Corrie layaknya warga mereka sendiri, layaknya seorang syahidah. Mereka ramai-ramai mengebumikan Rachel di Rafah. Beberapa orang lalu membuat grafiti mengenang keberanian Rachel. Di jalan-jalan di kota Rafah tampak foto Rachel terlihat.
Namun sayangnya, bagi negaranya sendiri Rachel bukanlah dianggap sebagai seorang pahlawan. Pihak pemerintah menyalahkan Rachel Corrie sendiri dan membela tentara Israel. Mereka menilai bahwa dua tentara Israel itu tidak melihat Rachel sehingga terjadi insiden itu. Dua orang kativis ISM yang sedang bersama Rachel saat itu menyangsikan pengakuan tentara itu. Orang tua Rachel meminta pihak pemerintah mengusut kasus kematian anaknya, tetapi bagi pemerintah AS masalah ini telah selesai dengan membebaskan 2 tentara Israel itu yang namanya sama sekali tidak disebutkan.
Begitulah cerita tentang perjuangan Rachel Corrie. Dia tewas dengan nilai-nilai yang dianutnya sendiri. Sangat sulit menjadi seperti itu, menjadi ideal seperti itu. Begitu menginspirasi saat membaca kisahnya dan melihat foto-foto perjuangannya. Seorang Rachel, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perang Palestina-Israel, yang datang demi tegaknya kemanusiaan, rela mengorbankan nyawanya. Sebuah kematian yang amat mulia.
Lalu bagi saya, adakah keberanian untuk menjadi seperti Rachel Corrie? Meninggalkan kehidupan yang mapan menuju sebuah kehidupan yang tidak menentu. Meninggalkan posisi nyaman menuju suatu tempat yang menakutkan.
Dan sebuah tekad pun terpatri dalam diri saya, jika Rachel Corrie saja rela mengorbankan nyawanya demi palestina, maka saya akan malu sekali bila sebagai seorang saudara umat muslim di palestina, tidak melakukan apa-apa untuk mereka. Paling tidak sebait doa harus saya lantunkan setiap saat untuk mereka yang ada di Palestina.***(yas)
"I’m here for other children.
I’m here because I care.
I’m here because children everywhere are suffering
and because forty thousand people die each day from hunger.
I’m here because those people are mostly children.
We have got to understand that the poor are all around us and we are ignoring them.
We have got to understand that these deaths are preventable.
We have got to understand that people in third world countries think
and care and smile and cry just like us.
We have got to understand that they dream our dreams and we dream theirs.
We have got to understand that they are us.
We are them.
My dream is to stop hunger by the year 2000.
My dream is to give the poor a chance.
My dream is to save the 40,000 people who die each day.
My dream can and will come true if we all look into the future
and see the light that shines there.
If we ignore hunger, that light will go out.
If we all help and work together, it will grow and burn free with the potential of tomorrow."
—Rachel Corrie, aged ten,
recorded at her school’s Fifth Grade Press Conference on World Hunger
WE MISS U RACHEL...
January 8, 2009
at warnet...
So inspirational!
1 comment:
merinding bgt pas bc artikel ini coz hbt bgt ada seorang wanita yankee yg pny idealisme kuat dan rela mengorbankan hidupnya demi kemanusiaan. Rachel corrie membuktikan hatinya bkn berjiwa yankee tp seorang palestine bhkn lbh krn dia rela mengabdi untk negara paletine dengn mengorbankan nyawa
Post a Comment