Terasa ada sensasi lain di hatiku kala melihat wajahnya yang dulu teduh. Seiris belati seolah menusuk hatiku dan membiarakn darahnya mengalir ditetesi tetesan jeruk nipis. Astaghfirulloh... perihnya... Aku hanya bisa istighfar.
"Masih inget ane kan, Bang?" mata pemilik tatapan teduh itu bersirobok dengan mataku. Senyum dua senti mengembang di wajahnya. Dia menghentikan sepeda motornya tepat di hadapanku.
" Ryan, kan?" jawabku setengah tidak yakin. Walaupun aku selalu hafal nama mantan-mantan muridku terkadang bila yang sudah lama sekali tak jumpa harus menerka-nerka lagi. Ditambah banyak perubahan yang terjadi padanya
" Bener bang! Abang masih inget aja!" senyumnya melebar. Dia lalu mengulurkan tanyannya ke arahku.
Aku menerima uluran tangan itu.
"Kalau murid yang special pasti selalu Bang Yas ingat. Dan kamu salah satunya Ry," tambahku.
Senyum Ryan makin berkembang. Kemudian kami berbincang-bincang sebentar.
Aku memperhatikan sosok tinggi semampai di depanku itu lagi. Ryan sudah banyak berubah. Tubuhnya tidak kurus lagi seperti dahulu, walaupun juga tidak bisa dibilang gemuk. Kulitnya bersih dan rambut yang dibuatnya berjambul layaknya tokoh Tin Tin. Dan pakaiannya yang tampil trendi bukan lagi baju koko dan sebilah peci yang ada di kepalanya. Serta terselip sebatang rokok dan perempuan yang ada di boncengan belakang motornya.
Aku sengaja tidak bertanya tentang wanita itu. Aku hanya bisa mengira. Wanita itu melepaskan pelukannya saat motor Ryan tadi berhenti di hadapanku.
Tiba-tiba memoriku terputar pada episode-episode Ryan yang lalu.
***
Dia adalah lelaki sholeh. Pandai membaca Al-Qur'an dengan suara tartil yang bagus. Muridku di sebuah SMA. Pakaiannya selalu koko putih dengan kopiah yang menyembul di kepalanya. Wajahnya selalu basah karena wudhunya yang terjaga. Kadang terselip sebuah tasbih di pergelangan tangannya.
Ryan sering berdiskusi denganku. Diskusi berbagai macam hal. Sampai yang paling sering didiskusikan olehnya adalah tentang dakwah fardhiyah yang dilakukannya terhadap teman-temannya yang sering mabuk-mabukan.
"Ane sekarang sedang mencoba bergabung dengan mereka bang," ujarnya suatu ketika.
"Ikut mabuk?" tembakku sekenanya yang langsung dinyinyiri oleh Ryan.
"Kadang kita perlu masuk dulu ke mereka bang sebelum akhirnya kita bisa memberikan nasehat kepada mereka," ujarnya lagi.
"Yakin?" tanyaku. Wajahku yang tidak yakin membuat Ryan tersenyum.
" Ane mencoba, bang," tambahnya lagi.
" Good Ryan! Jadi apa saja yang kamu lakukan bersama mereka?" aku balik bertanya.
" Ngobrol-ngobrol aja kok Bang, terkadang sampe larut juga," ujarnya.
" Apa gak buang-buang waktu ya Ry? Ada di antara mereka yang ngerokok atau minum ketika kamu ada disitu?" tembakku lagi penasaran.
" Ada Bang. Tapi mereka tetap menghormati ane kok Bang," jawabnya. " Doain ane aja bang, semoga ane tetap istiqomah dan bisa masuk mendakwahi mereka,".
Pembicaraan itu pun terputus. Menurutku bagi orang yang belajar mengenal Islam dengan semangat yang tinggi seperti Ryan sangat riskan untuk berdakwah langsung seperti itu. Menurutku menemani mengobrol justru membiarkan ketidakbaikan itu berlarut-larut dan terkesan membiarkan. Bukankah lebih baik jika langsung berkata-kata saja jika punya kemampuan? Niat mewarnai bisa-bisa malah terwarnai. Aku hanya bisa berdoa untuk Ryan.
Kali lain aku melihat Ryan begitu serius menatap HP nya sambil mengetik tombolnya.
" Serius amat Ry?" sapaku.
Ryan mendonggakkan wajahnya. "Hehehe...iya nih bang, ada seorang akhwat yang sedang nanya. Dia mau konsultasi," ujarnya menjelaskan.
Aku sedikit terkejut. Akhwat, konsultasi. Serbuan su'udzhon berkeliaran di benakku.
"Gak sebaiknya tuh akhwat konsultasi sama akhwat yang lain aja Ry?" cemasku. Jujur, ada perasaan cemburu mendengar dia sedang sms-an dengan akhwat. Cemburu yang lebih tepatnya cemas. Berapa banyak binaanku yang awalnya bermula dari sms lalu lama-lama menjadi berani berpacaran.
" Hehehe...kenapa sih abangku? Dia cuma tanya sedikit aja kok. Jangan khawatir bang, Insya Allah ane bisa menjaga diri," senyum wajah teduh itu mengembang.
Aku hanya bisa menganggukan kepala saja. " Semoga saja," batinku.
Pertemuan berikutnya, aku berpapasan dengan Ryan di jalan saat dia mengendarai Kharisma-nya.
" Assalamu'alaikum Bang!" sapanya sambil menghentikan motor tepat di depanku. Dia menyodorkan tangannya.
" Walaikumussalam. Dari mana Ry?" tanyaku.
" Abis ketemuan sama akhwat Bang. Tadi nganter buku yang mau dipinjam," jawabnya.
Deg. Dadaku berdegup agak kencang. Akhwat. Agak sedikit takut jika seorang ikhwan sudah mulai berinteraksi dengan akhwat walaupun hanya melalui sms, apalagi secara frekuentif. Tapi aku berusaha menghadirkan 1001 positive thinking.
Sampai akhirnya akhwat tersebut meminta berbicara di Masjid lewat hijab. Aku yang melihatnya langsung menegur.
" Ry, bukankah baiknya ada yang menemani?" uajrku.
" Afwan Bang, ini permasalahan yang sangat rahasia," Ryan memberikan alasan. "Tenang bang, aku sudah menghijabi hatiku," bisiknya padaku kemudian.
Aku menggangguk mencoba memahami. Kembali kuhadirkan pikiran-pikiran positifku. Aku mempercaya apa yang dikatakan olehnya. Kalau bukan karena dia adalah objek dakwahku dan calon mujahid dakwah berikutnya, tak akan aku memikirkannya seperti ini. Aku hanya bisa berdzikir dalam hati saja.
***
Hingga suatu ketika....
" Abaaaannggggg....!!!!"
Suara panggilan itu membuatku menoleh ke belakang. Aku baru saja memasuki perkarangan Masjid sekolah saat mereka berlarian menyerbuku.
" Kenapa sih para ikhwan sholeh? Kayaknya ada berita gawat nih?" ledekku sambil memerhatikan wajah beberapa orang pengurus Rohis yang ada dihadapanku.
" Ryan, bang...." ujar salah satu wajah yang ada di hadapanku mulai bersuara.
" Ryan, harus disidang bang! " jerit yang lain.
Aku kebingungan. Disidang? Maksudnya?
"Memangnya dia kenapa?" tanyaku pada akhirnya.
Mata-mata di depanku saling melirik memberikan isyarat.
" Ryan pacaran bang..." satu suara berkata.
Seolah saat itu aku dijatuhi sebuah pohon tinggi yang tepat mengenai kepalaku.
" Dia juga mulai merokok Bang," tambah yang lain.
Pohon lainnya jatuh menimpa kepalaku lagi. Masya Allah...
Setelah kejadian itu, aku segera menghubunginya dan meminta waktu untuk bertemu denganku. Dengan sangat terbuka dia menerima ajakanku untuk bertemu.
Saat bertemu dengannya aku terdiam. Kulihat wajah Ryan yang seperti malu padaku. Aku menahan diri untuk menghakiminya.
" Maafin ane ya bang," dia mulai bersuara. Aku masih terdiam menahan gejolak rasa yang sepertinya berebutan ingin keluar.
" Ane khilaf bang. Ane sudah mengambil jalan yang salah. Ane tidak bisa mewujudkan seperti yang ane katakan. Ane minta maaf sama abang," Ryan menunduk dalam. Tak berani memandang wajahku.
Aku masih terdiam. Entah rasanya berat sekali bersuara pada saat kondisi seperti ini. Namun aku mencoba menata hati lebih cepat lagi.
" Ryan ingin melanjutkan hubungan itu atau tidak?" ujarku pada akhirnya.
Ryan terdiam sambil tetap menunduk. Tak lama dia memberanikan diri melihat wajahku.
" Untuk saat ini ane masih mau melanjutkan hubungan itu bang. Maafkan ane ya bang," Ryan mengutarakan pilihannya.
Seolah palu besar memukul tepat di belakang kepalaku. Masya Allah. Innalillahi wa inna Ilaihi Rajiun. Sebuah musibah di jalan dakwah saat melihat ada seorang dai yang memutuskan untuk berhenti. Aku menahan gelegak tangis yang menggelembung di dadaku itu.
Allah, Engkaulah yang memberikan hidayah dan Engkau pula-lah yang mencabutnya...
***
Dan akhirnya Ryan benar-benar hilang, hingga hari ini aku bertemu dengannya.
" Bang! Kali lain ane boleh ke rumah ente ya bang?"
Sebuah pertanyaan Ryan langsung membuyarkan lamunanku tentangnya. Aku kembali berada di dunia yang sekarang.
" Oh iya boleh Ry. Datang kalau sempat," jawabku secepatnya.
Dan Ryan pun akhirnya pamit. Dia menjabat tanganku dan segera setelah menaiki motornya, sosok dia menghilang dihadapanku.
Aku kembali berjalan. Air di pelupuk mata berdesakan ingin menuruni pipiku. Semalam sebelumnya air mataku baru saja tumpah saat Isya berjamah di rumah Bang Riko, saudara seperguruanku di Silat Si Bunder. Terasa luluh mendoakan mereka yang aku cintai agar tetap berada dalam hidayah Allah SWT. Dan sekarang, Allah membuka mataku lebar-lebar.
Tadi sebelum aku bertemu Ryan, aku juga baru saja bertemu dengan adik sholehku (baca notes : Sepotong Martabak Dan Ukhuwah Yang Diupayakan). Menasehatinya akan beberapa prilaku yang selama perjalanan ke rumah Bang Riko tidak sesuai dengan prinsip Islami. Walaupun wajahnya sedikit kesal dan BT, namun dia menerimanya. Dan aku pun sedikit menyesal memberikan nasehat pemaksaan itu. Namun aku teringat pesan abangku, Bang Usman, yang bilang kalau ada permasalahan dengan dia langsung dibicarakan saja.
" Aku percaya padamu dek, namun mohon jangan diulangi lagi," ujarku tadi.
Ya Allah, bagaimana jika setan ternyata lebih lihai dan membuatnya kehilangan hidayah? Bagaimana jika adik sholehku mengalami hal yang sama dengan Ryan? Dan bagaimana jika hidayah yang ada padaku hilang karena aku tidak bisa mempertahankannya?
Ya Allah...Aku takut jika hidayah itu perlahan hilang dari orang-orang yang kucintai. Aku takut hidayah itu hilang dari diriku, sehingga kesalehan hanya sebuah memoar saja. Catatan indah yang tak membekas. Astaghfirulloh...
Aku tak dapat mempertahankan air mataku saat sudah berada di dalam bilik kamarku. Aku tersungkur dan memuji Allah sebanyaknya. Hidayah itu akan terus kuperjuangkan untuk mempertahankannya. Hidayah itu akan terus kudoakan lekat bersama orang-orang yang kucintai. Allah...Allah...Allah..
Teringat aku akan mereka-mereka semua yang kehilangan hidayah. Temanku yang rajin mengingatkan akan kesalahanku dalam membaca Qur'an, adikku yang dulu sangat menentang pacaran, sahabatku yang selalu tampil sederhana, karibku yang tak peranhabsen sholat berjama'ah di masjid, dan semunya hilangbegitu saja dalam sebuah memoar keshalehan. Astaghfirullah...Astaghfirulloh...Astaghfirulloh...
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
(QS Al Qashash: 56).
" Setan tuh pinter Yass, dia gak berhasil membujuk keburukan sama kita, dia suruh deh orang lain berbuat keburukan dengan cara baik. Gabung sama orang gak bener dengan alasan berdakwah lah, yang ujung-ujungnya kalau kita gak kuat akan terbawa dalam jebakan setan tersebut,"
Petuah Abah Nung, sorang guru silat, terngiang lagi di telingaku.
Ya Allah, jangan Kau jadikan keshalehan itu hanyalah sebuah lembar memoar yang hanya bisa dikenang tanpa diupayakan datang kembali....
Adzan Ashar itu aku tersungkur dan terpekur dalam sebuah sujud yang berisi nama-nama orang yang kucintai agar selalu dalam naungan hidayah Allah. Jangan Kau jadikan kami hamba-hamba-Mu yang merugi Ya Allah...***(yas)
Jakarta, 27th August 2012
1.44 am in my little room
Berjuta doa untuk orang-orang yang kucintai...
Especially Bang Usman, Abah Nung, Bang Riko, Tegar, Adik sholehku dan mentee2ku...
Tetapkan kami dalam hidayah-Mu Ya Allah...
No comments:
Post a Comment